Menjemput (Kembali) Hidayah. [Basic on true story]

Kehidupan adalah sebuah pembelajaran terbesar bagi manusia. Mereka menoreh sejarah di belakang langkah kakinya. Sebagiannya sangat manis bila dikenang, seperti nostalgia yang dapat mengembalikan tawa. Namun sisanya terlalu pahit untuk diingat, seperti memutar film melankolis berulang-ulang.
**

Namaku Husna, perempuan asli Sulawesi. Telah berkeluarga selama enam tahun terakhir dan dikaruniai dua orang putra-putri yang luar biasa. Tumbuh di dalam keluarga besar yang harmonis dan agamis membuatku bersemangat saat dahulu Ummi menawariku melanjutkan sekolah menangah pertama di sebuah pondok pesantren di Jawa Tengah. Saking semangatnya, aku sampai lupa bahwa saat pergi ke Jawa artinya aku hanya bisa bertemu Abi dan Ummi setahun sekali.

Aku ingat betul, tahun 2003, untuk pertama kalinya aku terpisah jarak ratusan kilometer dengan orang tuaku. Bila rindu menyapa, aku pergi ke warung telepon untuk berbicara dengan keduanya sebentar. Tidak bisa terlalu lama, karena uang saku harus dihemat.

Pesantrenku adalah sebuah sekolah sederhana namun kokoh dalam menjalankan prinsip agama. Santriwati putri tak pernah memiliki kesempatan bertemu dengan santri putra kendati jarak antara komplek kami hanya berjarak beberapa ratus meter. Saat keluar pesantren, pelajar putri diwajibkan mengenakan busana longgar dan kerudung panjang. Aku tak keberatan dengan aturan ini karena sudah terbiasa melihat Ummi memakainya di rumah, bahkan beliau bercadar.

Ustadzah Dewi, kepala sekolah  yang kami hormati karena wibawa dan bijaknya juga selalu mengenakan pakaian seperti itu. Wanita itu terlihat begitu cantik dan anggun dalam hijabnya meskipun usianya sudah menjelang empat puluh tahun. Sebetulnya, tak susah bagi kami untuk menyesuaikan diri dengan aturan tersebut. Bagi remaja, guru dan orangtua yang adalah teladan yang digugu dan ditiru. Apalagi hijab rapat sudah kami yakini sebagai tameng penjaga dari pandangan lelaki nakal.

Melalui hari demi hari di penjara suci membuatku termotifasi untuk tetap istiqomah menjaga prinsip yang kuyakini. Teman-temanku baik. Meskipun kadang melakukan kenakalan khas remaja, kami sangat dekat layaknya saudari. Aku ingin nantinya bisa memiliki keluarga yang harmonis dan religius persis seperti lingkunganku saat lahir dan tumbuh dewasa.

Pembawaanku yang periang dan supel membuat tak banyak orang tahu, bahwa di tempat sebaik pesantren lah aku mengalami trauma yang kelak menggoyahkan keistiqomahanku.
**


Jum'at siang di tahun ketiga, aku diundang ke kantor Ustadzah Dewi, kepala sekolah kami. Perasaanku tegang, wanita itu bukan tipe guru yang suka mengundang murid untuk menikmati teh hangat sambil berbincang ringan. Sama sekali bukan. Panggilan ke kantornya bisa berarti teguran, peringatan, atau lebih parah lagi; ada sanksi berat menanti.

Berjalan ke sana rasanya seperti seorang buron yang digiring ke penjara. Ah, kutepis buruk prasangka. Aku tak melakukan tindakan tercela, mengapa harus takut?
Sampai di hadapan Uztadzah Dewi, perasaanku tak enak. Ia tersenyum penuh simpati, memperlihatkan gurat usia di tepi matanya, namun sorotnya menunjukkan kekecewaan.

"Husna, bagaimana kabarmu hari ini?", tanya wanita itu masih dengan senyumnya.

"Alhamdulillah baik, Ustadzah." Jawabku singkat.

Aku tak tahu perihal apa aku ada di sini. Sementara wanita paruh baya itu mengawasiku seperti seorang penyidik. Bagi kalian yang belum pernah bertemu dengannya pasti tak percaya bahwa pandangan matanya benar-benar mengintimidasi siapapun. Tanyakan saja pada kawan-kawanku.

"Em, Husna, begini, saya mendapat laporan dari dua orang temanmu, bahwa beberapa hari lalu mereka kehilangan uang di kelas. Menurut kesaksian mereka, kamu sering berlama-lama duduk di kelas dan kembali ke asrama larut malam ya?" Wanita berkerudung panjang itu terus tersenyum selama berbicara.

"Betul, Ustadzah." Jawabku menunduk.

Jarak antara kelas dan asrama kami tidak jauh. Ruang kelas bisa diakses 24 jam penuh. Bila insomniaku kambuh, aku lebih suka duduk lama di sana sambil membaca buku atau ngobrol dengan kawan, dan kembali ke asrama saat mendekati tengah malam.

"Apa sebabnya? Tidak baik tidur terlalu malam. Kegiatan pesantren padat, kamu perlu istirahat cukup. Begadang banyak efek negatifnya bagi kesehatan. Terlebih bila ada kejadian pencurian seperti ini, sudah tentu kamu yang akan dicurigai pertama kali." Senyumnya hilang.

Ia mencurigaiku. Tidak, dia menuduhku! Bahkan tanpa bukti dan seorangpun saksi.
Jujur aku heran dengan mereka yang berani menyimpan uang di dalam kelas. Sudah tahu kelas kami bisa dikunjungi kapan saja, pintunya juga tak dapat dikunci. Siapapun bisa masuk dan mengambil uang itu meskipun bukan salah satu dari kami. Siapapun tahu bahwa pemilik harta yang tak becus menjaga hartanya sama buruknya dengan seorang pencuri. Tapi mengapa aku, yang sama sekali tak terbesit sebuah niat buruk pun malah dituduh?

Aku tak ingat bagaimana lanjutan percakapan antara aku dan Ustadzah Dewi. Yang jelas, sebelum sempat membela diri, ia menuntunku ke lapangan, kali ini rasanya benar-benar seperti pidana yang diseret ke tiang gantung. Aku berdiri di tengah siang, saat semua santriwati ramai berkumpul di depan kelas, asrama, atau kantin untuk menikmati waktu libur.
Kertas besar dikalungkan padaku, terbaca jelas tulisan "Jangan Contoh Perbuatanku". Hatiku pedih. Tak tahu bagaimana menggambarkan luka yang menganga lebar.

Sekelilingku, kakak kelas dan adik kelas berbicara dengan suara rendah. Saling bertanya apa yang menyebabkan aku dihukum. Mungkin karena selama ini tak pernah terdengar gosip kenakalanku. Hm, sekarang pasti diam-diam mereka mengataiku pencuri, yang seharusnya mendapatkan hukum potong tangan dalam syariat Islam.

Bisakah kalian bayangkan, seperti apa rasanya seorang yang tak berdosa tiba-tiba menjadi hina dina? Dipajang di hadapan ratusan orang yang sibuk berbisik, di bawah teriknya matahari, tanpa diberi kesempatan untuk berkata apapun.

Entah berapa lama aku berdiri, rasanya sangat lama sekali. Yang kuingat dari kejadian hari itu adalah harga diriku terluka. Aku mendendam. Ustadzah Dewi dari jauh memberi pandangan simpati, setelahnya menghibur dengan kata motifasi dan senyum teduh berwibawanya. Namun itu tak mengobati sakitku sama sekali.

Untuk meringankan luka batin, aku mengadukan kisahku ke seorang kawan dekat. Ia percaya padaku, namun bisa apa? Apakah bila kita angkat suara, Ustadzah Dewi akan percaya? Atau salah-salah malah aku diberi hukuman ekstra. Kami berdua hanyalah anak remaja labil yang konon mudah terpengaruh pergaulan. Sementara itu di seberang kami; seorang kepala sekolah, wanita penuh wibawa dan disegani semua orang.

Akhirnya satu-satunya yang dapat kulakukan hanya diam, menunggu hingga hingar-bingar gosip pencurian reda, atau hingga korban yang mengaku kehilangan harta terpuaskan jiwanya.
**

Beberapa bulan berlalu, orang mungkin sudah lupa. Teman-teman memperlakukanku tetap seperti saudara. Mangajakku belajar bersama, bercanda, dan saling traktir sesekali. Namun siapa sangka trauma dan rasa maluku tak kunjung sirna.

Aku sempat mengadukan rasaku ke Ummi. Wanita berhijab rapat itu percaya aku tak melakukan tindakan hina. Kendati demikian beliau tetap saja memojokkanku. Katanya, asap tidak akan timbul bila tak ada api. Jadi baginya, aku yang membuat diriku sendiri tertuduh. Ah, begitu burukkah diriku hingga dihukum kejatuhan bertubi-tubi, yang semakin lama makin dalam. Aku tak kuat lagi melawan dendam yang tumbuh di hatiku. Tiap melihat orang-orang yang menyebabkan keterpurukanku, rasanya sumpah serapah ingin tumpah. Aku berjanji tak akan memaafkan mereka.

Akhirnya, aku meminta Abi untuk membawaku pindah dari sekolah -yang kuakui- sangat kucintai. Sungguh aku amat menyayangi pesantren itu dan orang-orangnya. Namun salahku sendiri, tak kuat menutup luka dan melupakannya. 

"Husna, kenapa harus pergi sekarang?"
Itu ucapan semua teman saat mengetahui kepulanganku yang mendadak. Mereka menuliskan surat perpisahan yang isinya permintaan maaf dan ajakan untuk tetap menyambung silaturahami meskipun kami berjauhan.

Sesampai di Sulawesi, aku melanjutkan sekolah menengah atas di sebuah pesantren yang sama ketatnya dengan sekolah lamaku. Bergaul seperti biasa. Tetap ceria dan dekat dengan semua orang, meskipun luka dan dendam lama masih membekas. Sesulit itukah untuk move on? Aku merutuki diri sendiri.

Perlahan kurasa, trauma lama mengikis kepercayaanku pada orang sekitar, terutama mereka yang telah dewasa. Dalam fikiran remajaku, bagaimanapun aku berusaha untuk jadi baik, bila orang dewasa menganggapku buruk, aku akan tetap terlihat buruk. Lantas untuk apa berbuat baik? Serta merta semangat istiqomahku runtuh saat itu.
**

Pertengahan tahun 2009, aku diterima di sebuah universitas Islam di Sulawesi. Melihat penampilan para mahasiswi gaul -yang mengaku muslimah sejati-, rasanya rok dan kerudung panjangku terlihat kolot. Aku ingin mencoba kesenangan masa kuliah, bergaul dengan lawan jenis, bebas bercengkrama dengan mereka tanpa ada batas dan aturan yang mengekang.
Perlahan tapi pasti, pilihan fashionku berubah. Rok lebar kuganti dengan yang lebih sempit, lengan baju panjang kusingkap sedikit, bagian dada yang tadinya aman tertutup, mulai terlihat. Kini kerudung mini dan tipisku hanya sanggup menutup kepala dan leher. Dengan begini, rasanya dunia semakin ramah untukku. Tak ada lagi yang bertanya, "untuk apa kau kenakan pakaian selonggar ini?", "apa kamu nyaman menggunakan kerudung sepanjang itu?", dan lainnya yang kadang membuatku minder. 
 
Aku terlena gemerlap dunia dan pergaulan masa muda. Ah, andai bukan lulusan pesantren dan berasal dari keluarga agamis, tentu sudah kusingkap penutup kepala ini.
Sejujurnya bila teringat Ummi, aku jadi merasa bersalah. Meskipun ketegasan Ummi sesekali mengingatkanku pada kesan tak baik terhadap Ustadzah Dewi, nyatanya wanita yang melahirkanku itu selalu ada untukku hingga kini.
Ummi berusaha menasehatiku untuk kembali membenahi hijab yang nyaris kutinggalkan. Namun hatiku terlalu keras untuk mendengarkannya, kendati aku amat menyayanginya.
**

Seseorang menyadarkan lamunanku. Ternyata Kak Dinda, kakak tingkat yang juga seorang aktifis kampus.

"Husna, ini ada formulir pelatihan organisasi untuk pemula. Kalau kamu tertarik, silahkan isi dan serahkan ke saya ya." Katanya sambil berlalu pergi.
Aku tersenyum meng-iyakan. Segera kupenuhi semua kolom yang kosong. Aku butuh memperluas pergaulan agar makin membaur.

Hari pertama pelatihan merupakan awal pertemuanku dengannya. Ketua panitia yang amat berkarisma, namanya Kak Ali. Selain aktif, beliau terlihat piawai menjabarkan materi pada kami. Masuklah rasa kagum ke dalam hatiku. Sudah tampan, pintar, berjiwa pemimpin, ah, tipe suami sejati. Duh, mengapa aku begitu jauh berpikir sampai sana?

Sudah dua bulan lebih aku mengenal Kak Ali, rasa di hati ini makin membara. Kurasa aku jatuh cinta. Tidak, aku memang telah benar-benar cinta padanya.
Selama di pesantren, aku tak pernah merasa begini. Tiap bertemu dengan pria itu, seperti ada kupu-kupu menari dalam perutku. Masalahnya, aku tak tahu cara mengungkap cinta, jadi aku diam dan mengamati dari jauh. Di lubuk hati terdalam aku berharap semoga ia merasakan gelora yang sama.

Tiap ada masalah organisasi yang tak kupahami, aku tergerak untuk bertanya kepada kakak tingkatku itu, sekalian menarik perhatian. Ia juga dengan sangat ramah meladeni dan mengajariku hal yang baru bagi mantan anak pesantren ini.

Hingga suatu sore yang amat indah...

"Husna, sebenarnya aku sudah lama tertarik padamu. Maukah kau menjalin hubungan denganku? Maksudnya, lebih dari sekedar pertemanan biasa. Bersediakah?" Katanya sambil menahan gugup.

Rasanya seperti terbang. Impian yang selama ini kusimpan diam-diam kini menjadi kenyataan. Kakak tingkat yang selalu terlihat cool dan cuek ternyata menyimpan rasa yang sama dengaku. Tapi, aku tak mau pacaran. Setahuku, jalan terbaik untuk dua orang yang saling mencinta adalah menikah. Bila cinta diikat dengan ikatan yang salah, aku khawatir hubungan kami kandas dan tak berkah.

Meskipun ragu, aku memasang ekspresi tegas, "Maaf kak. Bila yang Kakak inginkan adalah hubungan pacaran yang sarat akan keharaman, saya tidak dapat meng-iyakan. Selama ini saya berprinsip bahwa bila seseorang benar mencintai saya, ia akan datang ke rumah untuk melamar." Hatiku kacau, bagaimana bisa aku tega jual mahal pada seseorang yang kuidamkan?

"Ayo kita menikah. Insya Allah setelah aku lulus, kita langsung menikah." Jawaban ringkas yang membuatku terkejut bukan kepalang.

"Kakak serius?" Tanyaku sambil menebak ekspresi wajahnya. Jangan-jangan ini hanya jebakan April Mop.

Wajahnya tak berubah saat menjawab, "Iya. Tunggu saja, atur waktu pertemuan dengan orangtuamu. Aku hendak meminta restu."

Begini ya, jangan sangka aku perempuan gampangan yang mudah mengobral janji ke semua pria. Wajahku memang manis, prestasiku juga lumayan. Apalagi Abi seorang guru agama, begitu juga Ummi. Sudah ada beberapa pria datang ke rumah untuk meminangku. Tapi aku tak bersedia. Bukan menilai fisik atau apa, aku hanya khawatir tak dapat berbakti pada lelaki yang tak benar-benar kukenal. Bila kelak menikah, aku ingin menikah atas dasar cinta. Itu saja.

Aku nekat mempertemukan Ummi dan Kak Ali. Wanita itu merestui pilihanku, apalagi saat tahu bahwa kami saling suka. Tak lupa mewanti-wanti agar kami tidak berpacaran demi kehormatanku  dan keluarga. Meskipun demikian, gelora masa muda tak dapat dilawan. Saat di luar pengawasan Ummi, aku sering berduaan dengan Kak Ali, layaknya pasangan muda yang saling mencintai.
**

Dua tahun kemudian, Kak Ali menepati janjinya. Ia mengucapkan lafal ijab kabul dengan mantap. Hadirin menyerukan sahnya pernikahan kami. Aku menangis bahagia. Allah, semoga bersamanya, kami dapat benar-benar mewujudkan keluarga yang kuimpikan.

Memulai pernikahan dengan orang yang kucintai dan mencintaiku, mungkin terlihat mudah dan lancar saja. Tentu saja, kami  sudah saking kenal cukup lama. Pengantin kasmaran layaknya orang-orang yang sedang berpacaran. Saat itu usiaku 20 tahun, suamiku 25 tahun. Masih sangat muda bukan?
**

Suatu hari entah kapan, hatiku tergelitik untuk kembali mempelajari agama yang telah lama kuabaikan. Bersamaan dengan itu dalam sebuah skenario yang telah Allah atur, aku dipertemukan dengan para sahabat lamaku di grup media sosial. Semuanya sudah berkeluarga dan memiliki anak yang lucu-lucu. Aku pun menyadari bahwa dendam lamaku hilang seiring berjalannya waktu. Aku meridhokan semua kesalahan mereka. Mungkin saat itu kami semua masih kanak-kanak, mudah tersulut emosi.
Hubunganku dengan mereka kembali hangat. Kami saudari seiman, tak pantas mengenang kejadian buruk yang telah terlalu lama berlalu.

Kuperhatikan, saat sedang berbincang dengan perempuan-perempuan itu, hatiku tenang. Kami banyak mendiskusikan masalah ilmiah, kadang ada sedikit bumbu canda, namun tak banyak obrolan sia-sia.  Aku merasa, inilah kebahagiaan yang selama ini aku cari.


Sejak saat itu aku getol menggali ilmu agama. Kudengar, suami-istri adalah cermin. Bila seorang istri ingin memiliki suami saleh, maka ia harus memperbaiki diri. Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka berubah dari personalnya. Aku terus mencoba untuk memperbaiki hijabku, demi aku, suamiku, dan anak-anak kami nanti.

Sebagai bentuk syukur pada Allah karena telah memberiku kesempatan kedua untuk kembali pada hidayah yang telah kucampakkan, pertama kali kuajak Kak Ali untuk bersama-sama belajar agama. Sayangnya, respon yang ia berikan terlalu jauhdari ekspektasiku.

"Sudahlah Husna, jangan bawa aku pada pemahamanmu yang ekstrim itu", "Ah, kau terlalu skriptualis dan tidak rasional. Zaman telah modern, tak perlu terlalu kolot lah." Dan komentar lainnya yang sering memancing perdebatan. Di sini mulai menemukan titik ketidak cocokan dengannya. Cekcok hingga suara meninggi pun sering terjadi. Bahkan kami tak berusaha menutupinya dari orangtua.

Sejak kami memiliki putri, aku banyak belajar untuk bekal mendidiknya. Aku tak ingin anakku menjadi sepertiku yang sempat terlunta kehilangan sandaran dan teladan. Lain halnya dengan suamiku,  ia malah bangga menerapkan pola asuh otoriter yang kaku dan keras oada buah hati kami. Kuperhatikan, jangan-jangan sifat kemauan keras yang dimiliki gadis kecilku tumbuh karena pola didiknya?

Sempat terbesit sesal, mengapa tak dari dulu aku memilih suami saleh yang dapat membimbingku menuju surga? Untuk memperbaiki semua kekacauan ini, aku harus mulai dari mana?

Teringat sebuah ayat yang menggambarkan persis posisiku, Allah berfirman:
"Apakah manusia mengira ia akan dibiarkan setelah mengatakan 'kami beriman' tanpa diuji?"

Aku kembali disadarkan, sebagaimana Allah memberiku hidayah, Ia juga mengirimkan ujian untuk memastikan kekuatan hatiku. Aku harus kokoh dan bertahan demi membuktikan kesungguhanku kembali pada jalan-Nya.
Aku yakin suatu hari nanti hidayah juga akan menyapa Kak Ali, sebagaimana ia lebih dahulu sampai kepadaku. Doa demi doa kukirimkan ke langit, agar Allah permudah jalan kami menjadi keluarga ideal yang melahirkan generasi saleh. Karena di tangan-Nya-lah hati manusia berada.

Segala sesuatu tergantung penutupnya. Aku berharap, hidayah yang kini bersemayam di dada tetap ada hingga nyawa meninggalkan raga. Sehingga Allah mengizinkan aku, keluargaku, sahabat, dan para pembaca semua untuk memasuki surga-Nya yang mulia. MJ

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menjemput (Kembali) Hidayah. [Basic on true story]"

Post a Comment