Antara Mapan dan Siap Nikah

Lampu-lampu jalanan di kota Semarang mendadak menjadi semakin memukau setelah pembicaraan yang terjadi antara aku dan bulek-ku.

Malam awal April 2013, di dalam sebuah mobil yang mengantarku menuju stasiun, aku dan bulek terlibat pembicaraan ringan mengenai acara lamaranku beberapa hari lalu, yang -alhamdulillah- lancar.

Bulek bertanya, "Emang calonnya Mbak Nitta itu kerja dimana?".
"Mm, belum kerja sih, bulek, sekarang masih kuliah, tengah tahun nanti insya Allah lulus, dan dia udah berencana jadi pengajar di sebuah pesantren di Bogor", aku berkata sambil tersipu malu. Bukan hanya karena bahagia, namun aku takut dikomentari macam-macam, mengingat keluarga besarku bukanlah keluarga yang agamis. Mereka pasti akan bertanya-tanya seberapa yakin aku untuk menikah dengan seorang pria yang -saati ini- belum bekerja, bahkan belum tamat kuliah.

Bulek tampaknya mengerti keresahanku, beliaupun tersenyum, "Ga papa mbak, gausah malu, dulu juga bulek sama si oom nikah dalam keadaan terbatas. Oom nekat banget mau nikah, padahal baru saja di-PHK, bahkan, uang pesangonnya dipakai untuk biaya pernikahan. Hehe. Bismillah aja mbak, asalkan mbak Nitta dan masnya benar-benar ingin nikah untuk ibadah, insya Allah rejeki akan ada jalannya."

Aku tersenyum sumringah, iya, betul, kalau sekedar menunggu mapan, memikirkan materi dan materi, manusia tak akan pernah mengenal puas. Manusia pada dasarnya serakah dan buas.

Sayangnya, banyak muslimah atau orangtuanya yang -merasa- berlevel tinggi, sibuk menolak si Fulan dan si Fulan karena belum mapan, kurang ini itu, belum lulus kuliah, padahal ia seorang pekerja keras, berpotensi untuk mapan, akhlaknya baik pula.

Seharusnya, cukuplah kriteria suami dalam sabda Rasulullah:

 إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ

"Apabila ada orang yang baik agama dan akhlaknya meminang (anak-anak perempuan dan kerabat) kalian, maka kawinkanlah dia. Jika kalian tidak melaksanakannya, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan." (HR. Tirmidzi)

Dan beliau juga menganjurkan para pemuda untuk segera menikah, tanpa memberi syarat harus mapan (baca: kaya raya) dulu.

يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

"Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." (Hadits Muttafaq Alaihi.)

Saat aku tenggelam dalam pikiranku, mobil melintasi Simpang Lima, lampu becak-becak hias berkedip-kedip, masya Allah, indahnya. Hatiku tersenyum tak henti, hingga stasiun, di dalam kereta, bahkan berhari setelahnya. Ya, aku sedang berbunga.



Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Antara Mapan dan Siap Nikah"

  1. Sepakat mba ^^
    Tidak harus mapan dulu, yg penting berpotensi utk mapan. Hhehe

    Semoga barakah pernikahan nya :")

    ReplyDelete