Saat Suami dan Anak-anak Menjadi Pendengarku Satu-satunya

Rasanya, seingatku, dulu aku bisa duduk mengobrol berjam-jam—beramai-ramai di teras asrama pesantren atau balkon kosan. Bahkan dengan posisi berbaring menjelang tidur, saat kantuk tak kunjung datang, obrolan tetap mengalir. Sekarang, pendengar setia obrolan harianku hanya empat orang terdekat: suami dan anak-anakku. Dekat secara emosional, dan juga secara jarak. Suamiku, dengan segala kesibukannya di luar rumah sejak pagi hingga petang, tetap menjadi telinga utama yang kurecoki dengan berbagai cerita. Tentang anak-anak, cerita acak dari media sosial, keresahanku dalam sehari, bahkan komentar netizen di reels random yang mengundang gelak tawa. Ia mendengarkan ucapanku yang sering kali dihiasi printilan emosi yang datang dan pergi. Meski mungkin tak banyak yang ia ingat, entah bagaimana hati terasa tenang. Ia seperti kotak tempat semua cerita disimpan, sahabat setia yang menampung segala rahasia sejak aku kecil, tumbuh dewasa, hingga kini menjadi ibu beranak tiga. Kesibukan rumah ta...