Renungan Tuk Wali Santri

Pertengahan tahun 2003.

Hari itu adalah hari pertama saya memutuskan untuk menimba ilmu di sebuah kota kecil, pondok pesantren yang saat itu masih sangat sederhana, berbeda dengan keadaannya sekarang yang berkembang begitu pesat.

Teringat saat datang, saya dan teman-teman musti mengatur posisi ranjang, mengangkut kasur kapuk, membereskan kamar dengan tenaga kami sendiri. 

Ruang kelas masih terbatas, kadang kami harus bertukar ruang kelas, bahkan meminjam asrama anak-anak ibtidaiyyah (SD) yang bau pesing sebagai ruang belajar.

Kami hanya bisa menyetorkan hafalan 3 hari sekali, karena keterbatasan pengampu hafalan, dan harus berbagi hari dengan kelas yang lain. 

Lauk yang kami makan masih sangat sederhana, apa adanya. Tapi kami saling mengingatkan untuk bersyukur, bahwa setidaknya makanan kami siap saji, sehingga kami tidak harus memasak semuanya sendiri sebagaimana di beberapa pesantren lain.

Jemuran yang kami pakai masih beralaskan tanah. Yang apabila baju yang dijemur terjatuh lalu terinjak tanpa sengaja, ia akan menjadi semakin kotor daripada sebelum dicuci. Laundry? Kami tak mengenal kata itu. 

Bila ditanya, apakah kami seteguh itu menjalani hidup? Jauh dari orang tua, jauh dari segala fasilitas hiburan, harus hidup mandiri, padahal usia kami masih SMP?

Jujur saja, anak manja sepertiku harus bersiap untuk ter-eliminasi dari pesantren. Dulu terbiasa disiapkan segala sesuatunya, kini harus turun tangan mengerjakan semuanya sendiri. Dulu terbiasa menonton TV, mendengarkan musik, jalan-jalan mencari kesenangan, kini harus berkutat dengan Al-Qur'an, kitab berbahasa Arab, teman-teman yang itu-itu saja, dan cucian yang menggunung.




Saya sempat mengadu kepada orangtua, bercerita bagaimana beratnya berada di pesantren, mengeluhkan permasalahan kecil dengan teman, intinya, tidak betah!

Tapi apa jawab mereka?
"Ya itulah pesantren."
"Namanya juga menuntut ilmu, harus sabar."
"Pesantren itu bukan rumah, bukan hotel tempat berleha-leha, memang harus sederhana dan prihatin."
"Kamu sudah mengambil keputusan untuk mondok, berarti kamu musti menaggung resikonya. Setiap pilihan mesti ada resikonya."
"Masalah dengan teman, silahkan diselesaikan sendiri, jangan bawa orang tua."
"Kalau sedih, solat, berdoalah kepada Allah, Allah akan menolong."

Semakin dewasa, saya kian mengerti alasan orang tua (dan orang tua teman-teman) tidak terlalu mencampuri urusan kehidupan kami di pesantren. Yah, mereka percaya bahwa pihak pesantren tak akan menyia-nyiakan kami!

Kekurangan apapun, dari segi fasilitas terutama, sudah mereka maklumi. Yang penting anak mereka sehat, tidak kelaparan, tidak kehausan, berakhlak mulia, bisa belajar dan istirahat dengan nyaman, aman dari gangguan orang tak bertanggung jawab, beres. Toh, kelak semua orang akan menjalani kehidupan masing-masing, menghadapi problem di masyarakat luas, atau mungkin hidup merantau mandiri, jauh dari orang tua.

Masalah air yang kadang kurang, toilet yang kadang error, baju-baju yang kerap hilang entah kemana, itu semua tak dianggap serius oleh meraka. Mereka paham bahwa pasti pihak pesantren telah berusaha sebaik mungkin untuk mengatur kehidupan kami. So, just trust them!

Hingga ...

Waktu berlalu, pesantren kami mulai berkembang dan melangkah maju. Bersamaan dengan itu, muncullah generasi selanjutnya. Dari tipe santri yang ingin menjadikan pesantren like a home, orang tua yang begitu sibuk mengkritisi fasilitas, hingga sibuk -maaf- mencekoki pihak pesantren dengan masukan-masukan yang kadang berlebihan. Apapun yang anak adukan, langsung disampaikan ke pihak pesantren tanpa seleksi!

Menyayangi memang beda tipis dengan memanjakan. Niatnya menyayangi, namun  yang ada malah menjerumuskan.

Ada orangtua yang ingin anaknya menimba ilmu agama, mengejar akhirat, terdepan dalam memahami Al-Qur'an, namun terlalu fokus pada fasilitas duniawi, konsentrasi pada zona nyaman anak, tidak rela buah hati disentil kehidupan keras a la pesantren.

Padahal, para ulama terdahulu, mereka rela meninggalkan keluarga, mengorbankan harta, keluar dari zona nyaman demi mendapatkan ilmu. Itulah sebab keberkahan pada ilmu mereka -rahimahumullah-

Saya percaya, masih sangat banyak orang tua bijak, yang betul-betul ingin melatih anaknya hidup mandiri. Masih banyak wali santri yang menyadari bahwa kelak si anak akan lepas dari mereka, merantau, berkeluarga, bermasyarakat, dan menghadapi semua problem kehidupan mereka sendiri di kehidupan yang sesungguhnya.

Wahai, Bapak, Ibu, kelak putra-putri Anda akan terjun juga ke tengah masyarakat, hidup bersama orang yang sebelumnya tak dikenal. Sedangkan Anda semakin tua, mungkin tak lama lagi bisa mendampingi mereka. Bayangkan bila mereka tak kunjung dewasa, selalu bergantung pada orang lain, hanya ingin berada di zona nyaman, bagaimana mereka bisa bersaing dengan dunia? Bagaimana mereka bisa mensukseskan diri sendiri? Menciptakan kebahagiaan bagi keluarganya kelak? 

Besi pun perlu ditempa hingga menjadi pedang. Pensil kayu musti diserut supaya tajam. Kain musti ditusuk jarum agar bisa dikenakan. Semuanya tak berada di zona nyaman mereka. Tidak. 

Didiklah anak anda untuk menjadi pejuang yang sesungguhnya. Mujahid fi sabilillah.

Pesantren adalah miniatur kehidupan bermasyarakat. Disana mereka belajar agama, belajar mandiri, belajar mengambil sikap. Maka, lepaskan tangan mereka, biarkan mereka terjatuh bangun berjuang. Awasi dari belakang, doakan, perhatikan. Maka lihatlah, ia akan berjalan semakin tegap. Seperti saat kecil dulu, berjalan sangat perlahan, kemudian berlari. (MJ)





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Renungan Tuk Wali Santri"

Post a Comment