Menjawab Pertanyaan "Kapan Nikah?"

"Kapan lulus?"
"Kapan nikah?"
"Kapan punya anak?"
"Kapan nambah anak?"



Dan pertanyaan lainnya, akhir-akhir ini banyak dikeluhkan sebagai sebab dan biang utama rasa baper, yang menimpa pemuda-pemudi Indonesia. Terutama saat lebaran tiba, momen silaturahmi seolah menjadi momok yang sebaiknya dihindari.

Ya, saya sebenarnya setuju dengan pendapat ini. Jawaban dari pertanyaan itu terkadang merupakan hal gaib yang tidak kita ketahui, seperti halnya pertanyaan kapan waktu hari kiamat, bukan?

Tapi, menilik kembali kebiasaan, adat, dan kultur bangsa kita, yang sudah melestarikan ramah-tamah sejak ratusan, bahkan ribuan tahun silam, tidakkah hal ini kita anggap saja sebagai bentuk basa-basi? 

"Sudah pulang sekolah, dek?", "Mau ke mana, kak?", "Rumahnya di daerah mana, Mbak?", "Hari ini, tampaknya akan hujan, ya?"
, dan pertanyaan lainnya, sudah sangat biasa kita temukan di angkutan umum, di mushala, saat mengobrol dengan orang yang baru kita kenal. Padahal, mungkin saja penanya tidak benar-benar ingin mengetahui jawaban kita. Sekedar basa-basi, ramah-tamah, untuk penghangat suasana.

"Mau kemana, Bu? Ayo mampir...", juga merupakan sapaan khas para tetangga saat melihat orang yang dikenal melintasi rumah mereka. Hal ini lumrah dalam adat bangsa kita.

Jadi, mengapa pertanyaan ghaib di atas,  kita tanggapi dengan terlalu tegang dan penuh perasaan? 

Daripada baper, kita bisa menjawabnya dengan jawaban yang lebih enak didengar;

"Insya Allah tahun depan, saya sudah dapat gelar sarjana",
"Ini sedang diusahakan mencari jodoh yang tepat, doakan ya, Budhe. Atau Budhe bisa bantu mencarikan, mungkin?",
"Doakan saja, Nek, semoga Allah segera memberikan amanah untuk kami, sementara ini kami mengusahakan"
, dan jawaban yang menentramkan lainnya.

Meskipun sudah menikah dan punya dua anak, saya masih sering kebanjiran pertanyaan seperti, "kapan lulus? Ayo buruan, keburu anak-anakmu besar!", "kamu kuliah dimana sih? Kok ga lulus-lulus?", "ini anakmu, kapan mau numbuh rambutnya?", "anak cowokmu ini, kenapa cucah mingkem?", "kenapa anak-anak tidak diberi susu tambahan?" Dan pertanyaan lainnya yang senada.

Saya hanya akan menjawab dengan santai. Meskipun kesal, tak perlu lah memperpanjang durasinya hingga terbawa mimpi. Toh, itu hanya basa-basi. Kelak, ketika kembali menyepi di tanah rantau, pasti kita akan rindu pada keluarga yang peduli pada hal-hal kecil seperti ini.
Saya jadi teringat ungkapan "situ sehat?" Yang akhir-akhir ini mengandung ambiguitas, antara benar-benar menanyakan kabar, ataukah sebagai sindiran atas kesehatan akal orang yang ditanya. Padahal itu adalah pertanyaan paling sederhana yang biasa kita lontarkan, tapi ternyata bisa juga mengundang baper.

Indonesia, terkenal dengan tradisi ramah-tamahnya. Kita bisa membantu melestarikannya dengan  menanggapi menggunakan bahasa sopan dan elegan. Setuju?

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menjawab Pertanyaan "Kapan Nikah?""

Post a Comment