Pengalaman Pertama Kuretase

"Gimana?" Tanya dokter yang sedang mempersiapkan peralatan.

"OTW", jawab dokter anastesi yang duduk di sebelah kiriku.

Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar. Benda terakhir yang kupandang adalah  lampu ruang bersalin. Sementara itu mulutku menggumamkan kalimat tahlil sebelum aku merasa ditenggelamkan ke dunia asing penuh persegi warna-warni.

*****

Sampai saat ini aku masih teringat pertama kali aku merasakan kehadirannya, calon anak ketigaku.

Pagi itu, aku sedang menunggu resi pembayaran di sebuah minimarket. Tiba-tiba dadaku terasa sesak, perutku mual, dan mataku berkunang. Aku sampai perlu mengambil posisi rukuk untuk menyeimbangkan diri. Karena rasanya, aku seperti akan segera jatuh pingsan.

Saat kembali ke mobil dan mengambil cukup nafas, aku menceritakan yang barusan kurasakan pada suamiku. Dia hanya berkomentar sambil bercanda bahwa mungkin saja aku hamil. Aku mengiyakan, karena memang rasanya seperti sedang hamil muda.

Di perjalanan pulang kami sibuk menghitung HPL (Hari Perkiraan Lahir) bila memang aku mengandung. Kemungkinan, bayi kami akan lahir pada bulan Juli, setelah Lebaran, insya Allah.

Sejak hari itu, aku mulai merasakan mual teratur tiap pagi dan malam hari. Aku makin mantap untuk memastikan kehamilanku melalui testpack.

"Ini berapa garisnya? Dua? Artinya apa?"
Aku terkikik mendengar pertanyaan polos lelakiku. Tiap aku menunjukkan tespack, baik hasilnya positif atau negatif, dia selalu bertanya berulang kali untuk memastikan pemahamannya tidak meleset.

*****

Hamil ketiga-ku ini rasanya berbeda dari dua sebelumnya. Sejak bangun tidur, rasa pusing dan mual ringan langsung menyerang. Siang hari dari Dhuha hingga menjelang Asar, tubuh rasanya lemas bagai tak bertulang, seperti sedang hamil tua, sangat mengantuk dan lelah. Sore hingga malamnya rasa mual ringan kembali datang. Aku juga selalu menggigil dan kadang muntah tiap bersentuhan dengan air dingin. Namun aku tetap memegang prinsip yang kuyanikini sejak kehamilan sebelumnya, bahwa rasa mual dan lelah merupakan cara janin memberi sinyal bahwa ia sehat. Maka tak banyak yang bisa kuperbuat kecuali bersyukur dan berusaha menikmatinya.

Aku memiliki beberapa alasan untuk tidak memberi kabar gembira ke keluarga dan teman-teman. Salahsatunya adalah kami ingin tenang menentukan 'masa depan' tanpa masukan dari banyak pihak. Aku mulai menyusun rencana dimana akan melahirkan, dokter siapa yang akan kami minta bantuannya, rumah sakit apa, dan dengan normal atau secar-kah proses melahirkan yang terbaik bagi kami.

Meskipun tidak tertulis, semua nama dan daftar sudah tersusun rapi dalam pikiranku. Setelah memastikan semuanya clear, rencananya aku baru akan memberitakan kehamilanku ke kerabat dan sahabat.

*****

Awal Desember itu merupakan hari-hari yang sangat sibuk bagiku. Aku harus memfokuskan pikiran untuk menjalani ujian kuliah selama dua pekan di Karawang. Pekan pertama aku menetap di asrama yang disediakan dengan membawa Jihan bersamaku. Adapun Umar tetap tinggal di rumah dengan Abahnya.

Pekan kedua aku dan suami memutuskan untuk pulang-pergi Jonggol-Karawang dua hari sekali. Cukup melelahkan, namun tentunya suamiku yang menyetir mobil lebih lelah lagi. Kami mengambil keputusan ini karena aku lebih tenang saat tidur di rumah, menghirup udara segar, belajar sambil mengerjakan semua tugas rumah tangga ketimbang tinggal di asrama dengan ruangan tertutup ber-AC yang membuatku selalu merasa kedinginan. Karena ujian diadakan sore hari, suamiku bisa lebih fokus bekerja di pagi harinya karena Umar ada di rumah bersamaku.

Tak hanya sampai di situ, setelah urusan ujianku selesai, tugasku sebagai guru dan wali kelas menunggu. Aku kembali berkutat dengan nilai yang harus direkap untuk kepentingan input nilai raport murid-murid. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Aku hanya cukup bangun lebih pagi untuk menggarap sebanyak mungkin. Saat anak-anak bangun, aku bersegera menyimpan rapi data itu sebelum mereka jadikan bahan eksperimen. Malam harinya, aku tidur lebih malam dari biasanya untuk bekerja.

Alhamdulillah dalam beberapa hari semuanya selesai. Tentunya suamiku yang baik hati banyak membantu. Aku bersyukur memiliki lelaki yang sangat peduli pada keluarga dan dapat diandalkan. Masya Allah.

*****

Libur telah tiba. Setelah berkutat dengan sekian banyak tugas, akhirnya aku bisa istirahat dan mencari ketentraman di kampung halaman.

Perjalanan Bogor-Semarang kami tempuh dalam waktu 11  jam. Aku tak merasa lelah karena di mobil hanya duduk dan tidur. Yang paling lelah tentulah si Abah yang menyetir, kadang juga ia harus turut menenangkan Umar yang tidak bisa diam dan sering ngambek selama perjalanan.

Beberapa hari di Semarang, kami manfaatkan waktu untuk istirahat, berlibur, juga mengunjungi sanak saudara. Bagiku, mudik tak hanya sekadar menenangkan diri dari hiruk-pikuk pekerjaan, namun juga harus dimanfaatkan untuk mendulang banyak keutamaan dari silaturahmi.

Pasti banyak yang sudah tahu bahwa silaturahmi merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab umur panjang dan banyak rizki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Setelah menghabiskan hari-hari yang terasa pendek, kami safar ke kediaman mertuaku, Magetan. Alhamdulillah sejuk sepoi angin menyambut kami di sana. Suasana desa yang menenangkan membuatku rileks meskipun tetap mual dan lemas. Kebersamaan keluarga membuatku merasa keberatan saat harus kembali ke perantauan. Namun inilah hidup, santai-santai memang hanya diciptakan sebagai selingan. Sisanya adalah perjuangan dan usaha tanpa henti. Yang penting lelah yang  dirasakan, kerja keras yang diusahakan, membuahkan pahala dan kebahagiaan.

*****

Kesibukanku dan suami yang sangat padat selama dua bulan terakhir membuat kami belum sempat mengecek keadaan calon bayi. Setelah kembali ke Bogor, tanggal 28 Desember saat itu, kami mengunjungi Bidan Yana, bidan kepercayaan kami, untuk memastikan kesehatanku dan janin.

"Dengan ibu siapa?", Tanya bu Bidan.

"Nimitta", jawabku sambil tersenyum.

Bidan senior itu memandangiku sambil mengerutkan kening. Bagaimana mungkin ia lupa kejadian heboh saat aku akan melahirkan Jihan di kliniknya. Sudah hampir dua tahun terakhir aku tak pernah berkunjung ke sana, wajar bila ia lupa wajah. Namun namaku yang unik nampaknya mudah diingat bagi beberapa orang.

"Ibu sudah dua kali secar ya?", "Iya, bu", jawabku.

Dengan panjang lebar ia menjelaskan bahwa nantinya anak ketigaku harus di-cesar kembali karena alasan ini dan itu. Ia menyayangkan mengapa aku tidak menunda kehamilan, tak ketinggalan memberi wawasan tambahan (kalau tak  bisa kubilang menakut-nakuti) bahwa proses secar bisa saja membahayakan nyawaku. Dari situ aku mulai merasa tak nyaman. Hal seperti inilah yang membuatku agak menutup diri di kehamilan ketigaku. Aku tak ingin mendapat opini negatif dari seorangpun, sementara aku sendiri masih harus mengendalikan isi kepalaku yang sering kacau.

Bidan Yana duduk sambil mengamati layar komputer USG. Sesekali ia menekan-nekan tranduser ke perutku dan memintaku untuk batuk. Ekspresinya menandakan sesuatu yang kurang baik.

"Ada apa, bu?" Tanyaku penasaran.

"Hmm, usia kehamilan ibu sudah sembilan pekan, karena terhitung akhir haid tanggal 24 Oktober. Tapi setelah saya cek, detak jantungnya belum terlihat. Umumnya pada usia ini detak jantung janin sudah jelas dan sudah ada pergerakan ringan, bu", jelasnya.

Aku menarik nafas panjang, setengah tak percaya. Tentu saja karena selama ini aku masih dapat merasakan ia berkembang dalam rahimku. Kami berkomunikasi dengan intens melalui rasa mual dan begah yang kualami tiap hari.

Wanita itu melanjutkan, "baiklah, kita tunggu dua pekan lagi. Kita lihat apakah nanti ada tanda-tanda kehidupan. Ibu tetap berpikir positif, ya. Mungkin saja memang janin sedang kelelahan pasca perjalanan jauh, atau memang saya yang tidak bisa melihat detak jantungnya."

Aku keluar dari klinik dengan perasaan campur-aduk. Kusampaikan apa yang terjadi ke suamiku yang saat itu menunggu di mobil bersama anak-anak. Aku ingin ia menyalurkan harapannya padaku, milikku sendiri sudah hampir habis karena terlalu banyak 'menyerap wawasan baru' di dalam tadi.

*****

Kamis, 3 Januari 2019.

Saat bangun di pagi itu, aku merasakan perubahan dalam diriku. Rasa mual dan begah yang dua bulan terakhir menemaniku tak ada lagi. Hari itu juga aku bisa memasak dengan damai, setelah sebelumnya aku tak bisa mencium aroma bumbu dan rempah. Aku bisa  mandi dengan air dingin, setelah sebelumnya harus menggigil hingga muntah.

Awalnya aku senang karena sepertinya hormon Human Chorionic Gonadothropine (HCG) yang menyebabkan mual di trimester awal sudah stabil dan turun ke batas normal. Mungkin ini kemudahan dari Allah karena sebentar lagi aku harus kembali mengajar, aktifitas yang cukup menguras energi. Dengan begini, aku tak akan lemas saat lama berdiri atau merasa limbung tiba-tiba.

Namun mengingat kondisi janinku saat di klinik bidan beberapa hari lalu, rasa khawatir datang silih berganti. Bisa saja ini tanda bahwa janinku tak sehat lagi. Aneh tampaknya bila tiba-tiba rasa mual, lemas, begah, dan lelah hilang tanpa bekas dalam semalam. 




"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S. Luqman: 34)

*****

Rasa ragu terus menghantui pikiranku. Meskipun tak yakin, aku merasakan perutku semakin mengecil.

Selasa, 8 Januari 2019, sekitar pukul 22.00, Umar, anak keduaku yang enggan tidur karena belum mengantuk tak sengaja menginjak perutku. Anehnya setelah insiden, aku tak merasakan sakit sama sekali.

Keesokan sorenya, aku datang ke bidan Eva, bidan yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Pilihan jatuh kepadanya karena aku membutuhkan opini kedua mengenai janinku.

Bidan itu terdiam sambil memandangi layar komputer USG dengan serius. Sesekali memindahkan dan menekan tranduser ke beberapa lokasi perutku. Ekspresinya sama dengan bidan Yana. Apakah akan ada kabar tak baik lagi?

"Bunda yakin tanggal terakhir haid 24 Oktober?" Tanyanya kemudian.

"Insya Allah yakin, bu. Kalau meleset paling hanya beda sehari."

"Hmm, bunda, saya tidak yakin dengan kondisi janin bunda. Saya hanya bisa memberi surat rujukan ke rumah sakit terdekat. Kalau boleh saya sarankan sesegera mungkin ke sana. Besok atau malam ini jika perlu. Biar nanti dokter yang memastikan keadaan bunda. Yang jelas bunda kuatkan hati, sabar, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Sampaikan ke suami dengan cara yang baik dan tenang. Saya juga pernah mengalami hal yang sama. Ya jadikan saja ini pengalaman. Semoga ke depannya ada rezeki lain untuk bunda."

Meskipun wanita itu tidak menjelaskan secara detail apa yang terjadi, dari kata-katanya saja aku bisa menangkap bahwa tak ada harapan lagi bagi janin kami.

Kusampaikan apa yang kudengar dari bidan ke suamiku. Di perjalanan pulang ia banyak diam. Aku sangat mengenal lelaki yang kerap menyembunyikan duka dan rasa khawatir di balik diamnya itu. Sebagaimana kabar ini tak mudah bagiku, hal ini tentu juga mengejutkannya, kendati kami sudah sama-sama mempersiapkan hati untuk kemungkinan terburuk.

*****

Kamis, 10 Januari 2019.

Aku masuk ke ruangan dokter kandungan, dr. Agung Sagung, SpOG. Wanita itu ramah dan mau mendengarkan keluhanku yang panjang lebar.

Saat USG, dokter sempat agak lama terdiam sambil terlihat mempelajari kondisi janinku.

"Ibu, bapak, kalau dilihat dari tanggal terakhir haid, seharusnya janin sudah berusia sebelas pekan. Namun sayangnya saat ini kondisi janin sudah tidak bagus. Kantung hamil yang seharusnya bulat sempurna, di sini terlihat tidak bulat lagi. Calon plasenta yang menjadi sumber makanan janin juga sudah terlepas dari tempatnya. Di data USG, janin menyusut menjadi sembilan minggu. Intinya ini adalah kematian dalam rahim. Saya sarankan untuk dilakukan kuretase sesegera mungkin, karena tampaknya janin sudah cukup lama rusak. Kami tidak berani memberi obat penggugur kandungan karena usia janin sudah cukup besar, saya khawatir akan terjadi pendarahan hebat bila mengkonsumsi obat."

Aku dan suamiku menyetujui dan mempercayakan semua keputusan terbaik pada dokter wanita berkacamata itu.

FYI: Apa Itu Kuretase? 
Kuret dalam bahasa medis biasanya dikenal dengan nama D&C (dilation and curettage) atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan dilasi dan kuretase. Kuret atau kuretase tidak bisa terlepas dari prosedur dilasi yang dilakukan sebelumnya. Dilasi dan kuretase merupakan prosedur operasi yang sering dilakukan setelah wanita mengalami keguguran pada usia kandungan trimester pertama. (Sumber: hellosehat(dot)com).

*****

"Ibu bisa mulai puasa mulai saat ini ya. Nanti di ruang bersalin silahkan minum obat yang disediakan. Kemudian jam 16.00 kita akan lakukan kuret." Perawat berkerudung menjelaskan prosedur yang akan kami jalani.

FYI: Mengapa Sebelum Operasi Pasien Diminta Berpuasa 6-8 jam?

Dokter melarang konsumsi makanan atau minuman beberapa jam sebelum operasi untuk mencegah pneumonia aspirasi, infeksi paru-paru yang diakibatkan oleh terhirupnya sesuatu (makanan, cairan, atau muntah) ke dalam saluran pernapasan.

Dalam mekenaisme normal, sebenarnya partikel kecil yang masuk ke saluran napas akan dikeluarkan oleh tubuh. Tetapi, pada orang yang lemah, keracunan, atau dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh obat bius, kondisi ini bisa menutup saluran napas dan menyebabkan paru terinfeksi. (Sumber: kompas(dot)com)

*****

Saat masuk ruang bersalin, rasa sedih membuat dadaku sesak. Suami dan anak-anakku menunggu di luar ruangan. Jihan dan Umar asik sekali bermain kejar-kajaran, mendengar keceriaan mereka justru menambah rasa berat di hatiku.

Sebelum selang infus dipasang, aku meminta izin untuk keluar dan mengobrol sebentar dengan suamiku.
Saat menemuinya, ia sedang duduk tenang di salah satu anak tangga. Tak ada lagi tempat duduk di ruang tunggu yang tersisa untuknya. Anak-anakku masih saja asik berlarian di dekatnya. Aku mendekat dan menangis untuk menuangkan semua kesedihanku yang selama beberapa hari terakhir tak dapat kuungkapkan. Aku merasa sedih karena kehilangan, sedih karena tak dapat menjaga amanah baru dalam rahimku, sedih melihatnya sendirian mengurus kami, dan takut bila terjadi sesuatu yang buruk pasca operasi nanti. Air mataku tumpah ruah, dan kulihat matanya ikut berkaca.

"Ihtasibi 'indallah (berharaplah pahala kepada Allah), sabar", hanya itu yang ia katakan sambil terus mengelus punggungku. Ya Allah, aku hanya bisa memohon semuanya baik-baik saja.

Aku kembali ke ruang bersalin, mengambil air wudhu untuk salat Zuhur dan Asar sebelum minum obat dan dipasang infus. Obat yang diberikan adalah dua pil kecil, salah satunya diminum, dan lainnya dimasukkan ke rahim melalui vagina.



Pukul 13.48, kontraksi sudah mulai kurasakan. Rasanya seperti pembukaan satu atau dua sebelum melahirkan. Kedua anakku memang terlahir melalui operasi,  namun gini-gini aku juga pernah lho, merasakan nikmatnya  kontraksi meskipun hanya sampai pembukaan empat.

Menunggu pukul 16.00 rasanya lama sekali. Air mataku masih sering merembes. Saat kuhapus, ia mengalir lagi. Aku sendiri tak yakin sedang menangisi apa saat itu, mungkin semua hal. Sementara itu suami harus kembali ke kantor untuk mengambil beberapa kekurangan berkas untuk mengurus BPJS.

FYI: Berkas yang dibutuhkan untuk mengurus BPJS di rumah sakit sebagai berikut:
1. Fotokopi KTP (suami dan istri) 4 lembar.
2. Fotokopi kartu BPJS 4 lembar.
3. Fotokopi KK 4 lembar.
4. Fotokopi surat nikah 4 lembar.

*****

Hampir pukul 16.00 saat dokter anastesi datang. Darah sudah banyak keluar melalui jalan lahir. Baju dan alas tidurku sudah berlumuran cairan merah kekuningan. Untuk mengurangi rasa gugup, aku mengobrol ringan dengan bidan yang sedang mempersiapkan operasiku.

Katanya, kuretase dilakukan di ruang bersalin, dan aku tetap bisa mengenakan pakaian panjang dan kerudungku. Alhamdulillah, tadinya kupikir aku harus masuk ruang operasi yang dingin dan menyeramkan dengan pakaian minim.

Sesaat sebelum dokter Sagung hadir, aku mendengar suara anak-anakku di luar ruangan. Ternyata mereka baru saja  datang. Segera kuhubungi suamiku melalui handphone. Anak-anak tidak diperbolehkan masuk ke ruang bersalin, telepon adalah satu-satunya jalan untuk dapat mengobrol sesaat dengan lelaki kesayanganku. Katanya ia baru saja mengabari keluarga mengenai kondisiku. Aku sengaja memintanya untuk memberi tahu mereka sesaat sebelum operasi dimulai, berharap yang jauh di sana tidak terlalu lama merasa khawatir. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja.

Alat penyangga kaki dipasang, lampu operasi sudah menyala, jariku dipasangi oximeter, selang oksigen disematkan. Dokter anastesi menghampiri dengan suntikan di tangannya.

"Kita akan mulai ya, bu. Ibu akan tertidur setelah saya menyuntikkan cairan ini ke infus. Berdoa ya, bu."

"Laa ilaaha illallahu wahdahu la syarikalahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'ala kulli syai-in qadir (Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu)." Aku mengangguk sambil terus menggumamkan kalimat itu. Air mataku terus menetes.

"Gimana?" Tanya dokter yang sedang mempersiapkan peralatan.

"OTW", jawab dokter anastesi yang duduk di sebelah kiriku.

Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar. Benda yang kupandang saat itu adalah  lampu ruang bersalin. Sementara itu mulutku terus menggumamkan kalimat tahlil sebelum aku merasa ditenggelamkan ke dunia asing penuh persegi warna-warni.

*****

اللهم إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكِ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ القُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ صَدْرِي، وَجَلاَءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي

Artinya: "Wahai Allâh! Sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, dan anak lelaki dari hamba-Mu yang lelaki dan anak lelaki dari hamba-Mu yang perempuan, nasib saya di tangan-Mu, hukum-Mu berlaku pada saya, ketetapan-Mu adil pada saya; Saya memohon kepada-Mu dengan semua nama-Mu, yang Engkau telah menamai diri-Mu dengannya atau yang telah Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu atau yang telah Engkau sembunyikan di dalam ilmu gaib milik-Mu; Jadikanlah al-Qur’an sebagai penyejuk hati saya, cahaya dada saya dan penghilang kesedihan saya dan pelenyap rasa resah saya."

*****

Suamiku -yang sudah beberapa kali mengalami bius total- mengungkapkan bahwa rasanya 'seperti mimpi buruk,  dibawa ke dunia kacau balau'. Ya aku setuju. Dunia-penuh-persegi-ku memang kacau balau. Aku melihat kumpulan persegi warna-warni dan mendengar suara-suara; perempuan, laki-laki, anak-anak, bahkan suaraku sendiri. Kadang jauh, kadang dekat, kadang seperti tenggelam dalam air. Aku tak tahu apakah itu memang suara orang di sekitarku, atau sekadar halusinasi?

*****

Aku tersadar meskipun mataku belum membuka. Kugenggam jariku, terasa. Kugerakkan kakiku, ternyata posisinya sudah tidak disangga lagi. Berarti kemungkinan proses kuret telah usai.
Aku mendengar beberapa suara, mungkin para perawat yang berjaga dan dokter anastesi. Bahkan aku mendengar suara Umar mengatakan 'Tayo-Tayo'. Aku berusaha membuka mata, alih-alih terbuka, rasa pening memaksaku kembali tenggelam dalam tidur.

*****

"Ehm", aku mencoba berdeham. Suaraku terdengar namun mataku masih tak bisa terbuka. Kulepaskan selang oksigen dengan paksa, aku agak terganggu dengan aroma obat yang tercium darinya.
Aku tetap kesulitan membuka mata, saat dokter menyapa, "alhamdulillah sudah selesai operasinya ya, bu. Ibu bisa tidur dulu kalau masih merasa pusing."

*****

"Mbak, mbak..." Panggilku ke perawat yang berjaga. "Jam berapa sekarang?"

"Jam lima, bu."

"Tolong panggilkan suami saya."

Tak lama, suami dan anak-anak masuk ke ruang bersalin. Akhirnya perawat memberi kesempatan anak-anak untuk masuk, karena tidak mungkin mereka berdua tetap menunggu di luar.

Dengan melihat mereka, aku jadi merasa sangat hidup meskipun efek anastesi belum hilang sepenuhnya. Melihat senyum anak-anak dan pijatan lembut di lenganku, kehangatan kembali kurasakan. Aku mendadak merasa berkali-kali lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih ya Allah atas karunia yang berharga ini. Semoga aku tetap bisa menjaga nikmat sekaligus amanah yang Allah karuniakan. Setelah itu selama satu jam, aku benar-benar tertidur sangat nyenyak.

*****

Note: Mungkin ada sebagian kawan yang heran dengan keputusan kami yang terkesan menutup-nutupi keadaan saat itu. Kami melakukannya bukan karena tidak butuh bantuan, bukan karena tidak butuh didoakan, bukan karena menganggap keluarga, tetangga, dan teman-teman tidak penting. Hanya saja, saat itu kami menganggap bahwa lebih baik tidak banyak orang tahu. Bagi kami kami saat itu, privasi adalah solusi yang  membuat perasaan kami lebih nyaman. :)

*****

Pukul 21.00 aku sudah masuk ruang rawat inap yang homey. Tak lama kemudian suami dan anak-anak pamit pulang ke rumah. Aku merasa baik-baik saja menginap sendirian di rumah sakit. Aku mampu berjalan ke toilet, memencet bel darurat sendiri, bahkan menghampiri pos perawat bila diperlukan. Yang penting anak-anak dan 'Mas Gagah'-ku bisa tidur dengan nyaman setelah lelah seharian menunggui 'bayi besar'.

Keesokan harinya, Jumat, 11 Januari 2019, aku sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Syukurku kepada Allah karena telah memudahkan proses yang sebelumnya kuanggap rumit. Terima kasihku kepada semua orang baik yang telah membantu, semoga Allah membalas dengan kebaikan yang berlimpah. Aamiin.





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengalaman Pertama Kuretase"

Post a Comment