Antara Baik dan Benar
Jika ditanya apa yang paling aku inginkan saat ini, jawabanku sederhana, aku ingin menjadi orang yang baik. Tapi tidak berhenti di situ. Aku ingin menjadi baik dan benar.
Aku suka punya relasi yang hangat. Aku bahagia jika orang-orang senang berada di dekatku. Rasanya terhormat saat bisa menjaga citra yang baik. Tapi aku juga tahu, aku tak suka jika wewenang atau prinsipku diinterupsi. Maka, jika harus memilih salah satu, alih-alih baik, aku memilih menjadi benar.
Kata “baik” seperti memberi kesan menyenangkan, cocok di mata orang lain, tidak membuat masalah, tidak menyinggung. Tapi sering kali, untuk menjadi "baik", kita mengorbankan sedikit demi sedikit hal yang sebenarnya penting bagi kita demi menjaga perasaan orang lain.
Sementara “benar” artinya berpegang pada prinsip. Punya nilai yang jelas. Teguh dalam keyakinan. Cerdas dalam bersikap, tapi tetap tenang saat harus kehilangan simpati. Tidak takut kehilangan teman. Tidak takut diomongkan. Tidak takut kehilangan apapun selama nilai itu masih bisa kupertahankan.
Jujur saja, rasanya berat menjadi orang yang benar. Karena masa depan sepertinya akan terasa lebih sepi. Bisa jadi dijauhi karena terlalu jujur. Tidak disukai karena terlalu nyentrik atau freak, terlalu kaku dan berbeda dari kebanyakan orang. Padahal aku tak pernah berniat menyakiti. Aku hanya ingin tetap setia pada nilai yang kupilih.
Salah satu bentuk kecil dari “menjadi benar” ini adalah keputusanku untuk tidak mengucapkan selamat ulang tahun. Bukan karena aku tidak peduli. Sejak lama aku meyakini bahwa hal itu adalah bentuk tasyabbuh, menyerupai kebiasaan keyakinan lain di luar agama yang kupercaya.
Maka saat aku memilih untuk tidak melakukannya, aku berpegang meski, ucapan selamat selalu ramai tiap ada yang merayakan ulang tahun. Aku tetap diam, tidak menunjukkan antusiasme atau apapun, bahkan ke keluarga kecilku. Hanya cukup mengingatkan bahwa umur mereka hari ini bertambah, yang artinya mulai ada yang namanya konsekuensi perbuatan dan tuntutan kewajiban lebih.
Ada sedikit kekhawatiran jika aku tidak mengucap selamat ulang tahun kepada keluarga besarku, bisa jadi aku dianggap tidak empatik. Tapi lagi-lagi karena prinsip, aku memilih untuk tetap diam. Aku sudah pernah menjelaskan alasan ini kepada keluargaku sebetulnya. Tapi tetap, mungkin di benak sebagian orang, pertanyaan akan muncul kembali.
Hidup sebagai orang tua, istri, pengatur keluarga, itu butuh tekad dan niat yang kokoh, bukan? Tidak sekadar ikut arus, menuruti semua perkataan dan pendapat orang, atau mengalah demi menyenangkan hati orang lain. Tidak. Ada hal yang lebih kupilih untuk kujaga.
Seperti seseorang yang mengawasi jalannya perlombaan, aku ingin selalu (berusaha) memastikan: orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabku tetap berada di jalur yang semestinya.
Menjadi ibu, menjadi istri, tidak bisa disikapi dengan gampangan.
Ada banyak amanah yang harus ditunaikan. Semuanya bersandar di pundak. Perlu ditopang, dijaga, dan dituntaskan.
Aku tahu risikonya. Tapi aku juga tahu inilah jalanku. Menjadi benar bukan berarti keras kepala, tapi setia.
Setia pada nilai, pada amanah, dan pada arah hidup yang kupilih sendiri dengan sadar. Dan bagiku, itu jauh lebih bermakna daripada sekadar terlihat baik di mata siapa pun.
Mungkin jalannya tidak selalu mudah, mungkin tidak selalu ramai dukungan. Tapi aku percaya, kebaikan yang sejati akan lahir dari keberanian untuk tetap pada kebenaran.
Dan semoga, dalam upaya menjadi benar, aku tetap bisa menjadi orang yang hangat, lembut, dan mencintai tanpa harus mengorbankan prinsip yang kupegang.
Semoga Allah senantiasa meneguhkan hati ini, agar tetap kuat menjaga yang benar meski kadang terasa sunyi.
Dan semoga, di akhir perjalanan nanti, kebenaran yang kujaga bisa jadi saksi bahwa aku telah mencoba, bukan menjadi yang paling baik di mata manusia, tapi menjadi yang paling jujur di hadapan-Nya.
Komentar
Posting Komentar