Generasi Antimainstream





"Islam dimulai dengan keterasingan, dan kelak akan kembali terasing seperti sediakala." Al hadits.

Sebagai orangtua, sudah sepantasnya bagi kita untuk menyeleksi dan menimbang segala sesuatu yang berkenaan dengan anak kita. Entah itu makanan, minuman, teman bermain, hingga pendidikan. Nah, yang terakhir ini yang ingin sedikit saya rumpikan di blog saya ini.

Setiap anak adalah aset berharga bagi orangtuanya. Apa yang kita tanam, maka itu pula yang akan kita petik. Ibarat buah tak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya, maka, begitu pula hendaknya kita memberi teladan kepada mereka.

Sebagian anak diajarkan menyanyi oleh orangtuanya, hingga si anak mengenal nada dan lagu. Sebagian lagi menari, membuatnya mengerti irama dan goyangan. Sebagian banyak bergaul, pandailah ia menyusun kata. Sebagian lagi dekat dengan agama, tumbuhlah ia sebagai anak yang sedikit berbeda.

Suatu hari, saya pernah menerima kunjungan seorang kerabat. Ia bercerita bahwa cucunya bisa membuat gerakan dan menari saat dinyanyikan lagu 'Topi Saya Bundar'. Kemudian beliau mencoba menyanyikannya di hadapan Jihan. Seperti yang saya duga, Jihan seolah tuli dan malah asik membuka-buka lembaran buku dzikir pagi petang sambil menggumam kecil -ceritanya lagi ngaji- hehe. Tamu saya ini tampaknya agak heran dengan 'ketulian' Jihan ini.

"Loh, kok Jihan ga nari, mana topi saya bundarnya? Si Fulan udah bisa looh..." Katanya.
"Hihi, orang ga pernah diajarin, gimana mau bisa?" Batin saya.

Bisa jadi, di mata sebagian orang, Jihan tampak kurang cerdas, karena anak seusianya seharusnya sudah bisa melakukan 'kepintaran' itu. Namun, saya sama sekali tidak minder, tidak pula merasa malu. Saya justru bangga, karena usaha kami untuk mendidik Jihan sebagai generasi antimainstream sudah mulai menampakkan hasil.

Hmm, coba bila keadaanya dibalik. Bisakah si Fulan melanjutkan kalimat hamdalah atau basmalah yang saya ucapkan? Bagaimana dzikir ketika bersin? Ataukah ia bisa bersikap baik terhadap buku yang ia temui? Hmm, mungkin bisa, tentu apabila orangtuanya mengajarkannya.

Usia emas tumbuh kembang anak amatlah singkat. Seribu hari saja! Bagusnya, tiga tahun itu adalah saat dimana anak masih banyak bergantung pada orangtuanya. Ya, orangtua adalah sekolah pertama bagi anak. Sebagai guru, kita tentu memilah-milih apa yang terbaik untuk bahan ajar di waktu singkat ini. Jika menurut kami Jihan tak perlu belajar menyanyi dan menari, tidak akan kami ajari. Daripada membuang tenaga dan waktu demi hal yang kurang bermanfaat.

Tapi, sayangnya,  banyak sekali orang tua yang merasa bangga bila anaknya pintar menari, menyanyi, berjoget sebagaimana kebanyakan anak  kecil lainnya, hingga lupa menanamkan nilai ketuhanan pada diri si anak. Hasilnya, anak tumbuh tanpa mengenal Tuhan dan agamanya. Maaf broh en sistah, yang seperti itu sudah mainstream.

Setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah, orangtuanyalah yang membentuk kepribadiannya. Maka, akankah kita sia-siakan ladang pahala kita?

Dari satu sisi, anak bagaikan kaset kosong. Siap merekam segala hal, positif, maupun negatif. Di lain sisi, anak adalah air yang sangat jernih. Kita dapat melihat cerminan diri kita padanya. Hingga kita bisa terus mengoreksi kecacatan dan memperbaiki kekurangan.

Jujur saja, saya dan suami sebagai orangtua masih merasa banyak kekurangan dan kesalahan dalam mendidik anak. Kami masih terus belajar dan berharap agar kelak bisa menjadi lebih baik lagi. Sembari terus mendoakan kebaikan bagi Jihan, putri kami tersayang, agar kelak dapat menjadi pribadi yang shalihah, dan dapat membawa kedua orangtuanya menuju kebaikan.

Rabbana hab lana minash shalihin. Ya Allah, karuniakanlah untuk kami anak-anak yang shalih. Aamiin.


Picture by: http://instagram.com/fauzeeyyah

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Generasi Antimainstream"

Post a Comment