Ibu yang Sedikit Tidak Menyenangkan

“Romi, sepatunya ditaruh di mana?”

“Umar, tas tempatnya di mana?”

“Jihan, baju kotornya kenapa ada di ranjang?”

Kadang aku memilih berdebat, membuat keributan kecil di rumah. Padahal tenang lebih enak.

“Minta uang untuk beli seblak (lagi)? Nggak bisa, dong, Kak. Pekan lalu udah Mama kasih. Kalau kamu mau seblak, tabung dari uang jajan harian.”

“Barang sebanyak ini termasuk mahal, loh, Kak. Pilih beberapa yang paling dibutuhkan, potong budgetnya sampai setengahnya.”

“Air yang tumpah dilap, Dek. Itu ambil di sana. Mama? Nggak mau. Yang numpahin air harus bertanggung jawab.”

Kadang aku memilih membuat anak sedikit kecewa, menunda kesenangan mereka, menekankan tanggung jawab, menaruh batasan di beberapa sisi, untuk mengajarkan realita kehidupan.

Aku melakukannya untuk menanamkan kebiasaan baik pada anak-anak. Mengajarkan kapan berhemat, kapan boleh menggunakan uang. Kapan boleh bersantai, kapan harus melakukan pekerjaannya sendiri. Hal-hal semacam itu membentuk pribadi, perlu dilatih sejak dini, bukan dibiarkan dengan alasan "masih kecil".

Aku bisa saja merapikan sepatu yang berantakan, barang yang berceceran, pakaian kotor yang berserakan. Namun, sampai kapan? Apakah sampai mereka dewasa hingga sulit diajari? Atau hingga aku renta, tenagaku habis tak mampu lagi mengerjakan semuanya?

Sejujurnya, mengajarkan anak perilaku disiplin, adab, dan tanggung jawab itu melelahkan. Sama halnya dengan mereka yang juga enggan dan merasa lelah saat melakukannya. Namun sekali lagi, sampai kapan bersantai? Sementara umur kian bertambah, dan hidup di tengah masyarakat begitu menantang. Mengapa tidak mulai belajar dari sekarang? 

Aku tidak mau bersikap pesimis seperti "anak-anak umur segitu susah dikasih tahu", "anak-anak umur sekian belum mengerti". Hanya perlu sedikit komitmen untuk membuat mereka mengerti bahwa dunia ini penuh dengan aturan yang perlu dijalani. Baik di masyarakat maupun yang berhubungan dengan ukhrawi.

Aku sejujurnya tak menolak ketenangan. Ada kalanya aku memilih diam, terutama saat pikiran sedang tak kuat berdebat. Membiarkan barang mereka berserakan, dan merapikan semuanya sendiri. Meski lelah fisik datang menggantikan mentalku yang butuh tenang.

Bukan karena menyerah, aku hanya menarik-ulur. Sebagai seorang ibu yang butuh waktu dan kedamaian, sekaligus memahami anak yang kadang lelah dengan banyaknya kegiatan.

Aku kadang bersikap santai, boros, bahkan sedikit hedon, membeli barang yang rasanya tak penting amat, makan makanan mahal, dan royal memberikan apapun yang anak-anak minta. Sesekali, selama kunilai mampu dan tidak berlebihan.

Karena aku -kami- juga manusia, ingin sesekali bersantai, menikmati privilese yang kami miliki. Namun kembali lagi, hakikat dunia adalah menahan diri. Tak bisa terus-terusan bebas tak terkendali.



Anak-anakku, jika kalian kelak membaca tulisan ini, mama berharap kelak kalian mengerti…

Bahwa tidak semua hal harus dijawab dengan “iya”.

Memberi batasan bukan tanda benci, tapi cara agar hidup kalian tertata rapi.

Berkata tidak bukan berarti pelit, tapi bentuk sayang pada diri sendiri.

Mama ingin kalian tahu, mencintai orang lain juga berarti berani menjaga mereka, agar semua berada di koridor yang tertata.

Memberi itu indah, tapi ada batas yang diindahkan.

Karena kalau kita terus-menerus berusaha menyenangkan semua orang, kita bisa kehilangan arah dan lupa siapa diri kita sebenarnya.

Maka belajarlah memberi dengan sadar, menahan diri dengan lapang, dan menjaga hati dengan kasih.

Itulah bentuk sayang yang paling sejati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Kata-Kata Bahasa Arab Sedih dan Artinya [+Gambar]

Renungan Anak Santri

35 Quotes About Love dan Artinya