Postingan

Ibu yang Sedikit Tidak Menyenangkan

Gambar
“Romi, sepatunya ditaruh di mana?” “Umar, tas tempatnya di mana?” “Jihan, baju kotornya kenapa ada di ranjang?” Kadang aku memilih berdebat, membuat keributan kecil di rumah. Padahal tenang lebih enak. “Minta uang untuk beli seblak (lagi)? Nggak bisa, dong, Kak. Pekan lalu udah Mama kasih. Kalau kamu mau seblak, tabung dari uang jajan harian.” “Barang sebanyak ini termasuk mahal, loh, Kak. Pilih beberapa yang paling dibutuhkan, potong budgetnya sampai setengahnya.” “Air yang tumpah dilap, Dek. Itu ambil di sana. Mama? Nggak mau. Yang numpahin air harus bertanggung jawab.” Kadang aku memilih membuat anak sedikit kecewa, menunda kesenangan mereka, menekankan tanggung jawab, menaruh batasan di beberapa sisi, untuk mengajarkan realita kehidupan. Aku melakukannya untuk menanamkan kebiasaan baik pada anak-anak. Mengajarkan kapan berhemat, kapan boleh menggunakan uang. Kapan boleh bersantai, kapan harus melakukan pekerjaannya sendiri. Hal-hal semacam itu membentuk pribadi, perlu dilatih sejak...

Hak, Adab, dan Hati yang Lapang

Gambar
Pagi itu, Umar mendatangiku dan bertanya, “Mah, siapa yang jemur selimut di jemuran depan?” Aku tahu jawabannya, namun memilih untuk tidak menjawab agar Umar tidak melanjutkan perbincangan itu. “Nggak tahu, Mar…” “Ibunya (ART) si A, Mah, yang jemur. Udah izin ke Mama belum?” “Belum, Mar. Nggak apa-apa, lagian Mama juga lagi nggak pakai.” “Nggak bisa gitu, Mah. Harus tetap izin dong. Masa pakai jemuran orang sembarangan…” Tak bisa dihindari, percakapan yang ingin kuhentikan sejak awal tetap bergulir. Satu sisi, aku bangga dengan kepekaan Umar dalam menerapkan adab keseharian. Seperti yang pernah kuceritakan di tulisanku yang lain, bahkan kepada saudara sendiri pun kita wajib meminta izin jika ingin meminjam barang dan tidak menggunaknnya sampai benar-benar diizinkan.  Setidaknya aku tahu nilai itu sudah tertanam pada dirinya. Jadi wajar ia akan merasa risih dan heran ketika melihat ada orang yang tidak menerapkannya. Namun di sisi lain, sebagai orang dewasa -dan mungkin pikiran bany...

Belajar Mandiri Bersama Anak-anak

Gambar
Anak-anakku bertanya, "Mah, kenapa kita nggak punya ART (Asisten Rumah Tangga)?" Bukan sekali atau dua kali pertanyaan ini diajukan padaku. Yang dulunya sempat kagok menjawab, sekarang aku lebih rileks mengungkapkan alasannya. Tidak menyalahkan rasa penasaran mereka, tetangga kami beberapa orang juga menggunakan jasa ART di rumahnya. Mungkin anak-anakku berpikir, andai di rumah ada ART, aku bisa lebih banyak bersantai dan lebih jarang mengucap kata "Mama capek" ketika menegur mereka. Atau "Mama banyak kerjaan" saat meminta mereka memaklumi kesibukanku.  Tanpa membandingkan atau memandang sebelah mata rumah orang lain, aku memilih untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian. Aku merasa setidaknya sampai saat ini belum membutuhkan ART, meski rumah tidak rapi-rapi amat, masakan juga tidak enak-enak amat, meski gunung setrikaan menghiasi pojok ruangan. Tidak ada yang lebih baik atau buruk, semua hanya tentang preferensi. Aku memiliki alasanku untuk tidak...

Jejak Cinta Yang Tersisa

Gambar
 Saat scrolling media sosial, aku melihat sebuah konten. Isinya tentang anak yang ibunya meninggal saat melahirkannya. Ada narasi yang kurang lebih begini bunyinya, "Andai Mama tidak melahirkanku, mungkin Mama masih hidup sampai saat ini". Aku mengalihkan pikiranku ke kolom komentar. Ternyata di luar sana ada banyak kisah yang sama sepertiku, ibu yang justru meninggalkan dunia tepat setelah melahirkan anaknya ke dunia. Aku, yang dilahirkan 34 tahun lalu. Sejenak rasanya seperti bercermin pada cerita orang lain. Banyak komentar yang memberikan penghiburan, "Mamamu kini di surga, semoga ia syahid", "Mamamu pasti bangga", "Kamu hebat telah melewati ini semua"... komentar itu membuatku turut merasa terkuatkan. Namun ada satu komentar yang membuatku tercekat. Membuat air mataku tak tertahankan, aku pun menangis tersedu begitu lama karenanya. "Jika ibumu bisa mengulang waktu dan diberi pilihan, pasti ia akan kembali memilih untuk melahirkanmu...

Menulis Adalah Pensieve Versiku

Gambar
Pensieve adalah benda fiktif dalam novel Harry Potter, berupa mangkuk batu perak tempat menyimpan ingatan. Para tokoh mengeluarkan benang putih dari kepala mereka, menyimpannya di sana, lalu mengamatinya kembali bila diperlukan. Sebagai generasi milenial -Potterhead- yang tumbuh bersama terbitnya novel ini di tahun 2000-an, aku sempat berkhayal betapa serunya memiliki Pensieve. Andai bisa meluangkan kepala yang penuh, tidak terbebani dengan banyak kenangan yang sebagian di antaranya tidak terlalu bagus. Seperti kejadian mengesalkan dengan teman, atau pikiran tak penting yang melelahkan… asal jangan hafalan Qur’an yang ikut hilang. Terkadang pikiran itu berjubel seperti lemari penuh berkas. Sebagian penting, sebagiannya ingin dihapus. Kadang pikiran itu menghantui bahkan saat rebah, bahkan menjelma dalam bentuk bunga tidur. To-do list yang tak kunjung selesai, pesan yang belum terbalas, atau kekhawatiran kecil yang kita simpan rapat-rapat. Banyak hal membuat senang, sedih, khawatir... r...

Yang Berubah Setelah Menikah

Gambar
Catatan: Aku menuliskan ini sebagai seorang wanita yang setelah menikah menjadi Ibu Rumah Tangga. Bila ada hal yang tidak sesuai atau tidak relate dengan teman-teman working moms , mohon maklum, ya. Aku baru saja mengunci pintu kamar mandi, ketika anak itu memanggilku dari baliknya. “Mamaaa... mamaa... aku mau pup ” Baru duduk akan menyuapkan makananku, anak itu datang lagi, memberondongku dengan lusinan pertanyaan. Mataku baru saja terpejam, tak sengaja tertidur setelah selesai memasak dan merapikan dapur, ketika suara kecil bertanya, “Ma, makan siang pakai apa?” Padahal panci panas berisi sup dan lauk masih mengepul di atas kompor. Anak siapa itu? Anakku. Semuanya cerita tentang anakku. Sejujurnya aku tak pernah menyangka akan ada begitu banyak perubahan setelah menikah. Selain tinggal bersama lelaki yang dulu bahkan tak kukenal dekat, aku masih terkejut dengan kehadiran anak kecil yang terlahir dari rahimku sendiri. Sesuatu yang sebelum menikah tak pernah kubayangkan seribet ini. J...

Larangan Adalah Cinta

Gambar
Hari itu, anakku bertanya dengan serius, “Si Fulan dibolehkan sama orangtuanya, kenapa aku enggak, Mah?” Pertanyaan klasik yang keluar dari mulut hampir semua anakku. Tiga pribadi, tiga pertanyaan, namun inti jawabannya selalu sama.  Lagi-lagi aku harus kembali mengulang penjelasan. Tidak masalah, memang seperti inilah peran orang tua di hadapan anak: menjadi tempat bertanya, berkeluh kesah, dan mengungkap perasaan. Misalnya saja si sulung bertanya mengapa tidak dibolehkan menonton film horor. Atau si bungsu yang tidak terima dilarang menonton tayangan anomali. Si tengah juga bersuara mengenai waktu mabar yang kubatasi. Di satu masa, aku meragukan keputusanku membuat larangan. Aku bertanya pada diriku, apakah sudah benar? Padahal aku memutuskannya setelah belajar dan melakukan observasi. Kadang aku khawatir, bagaimana bila anak-anakku melanggar diam-diam? Apa sebaiknya kulonggarkan saja? Namun aku paham apa yang baik dan tidak untuk mereka. Kadang aku takut mereka jadi kurang baha...