Belajar Mandiri Bersama Anak-anak
Anak-anakku bertanya, "Mah, kenapa kita nggak punya ART (Asisten Rumah Tangga)?"
Bukan sekali atau dua kali pertanyaan ini diajukan padaku. Yang dulunya sempat kagok menjawab, sekarang aku lebih rileks mengungkapkan alasannya.
Tidak menyalahkan rasa penasaran mereka, tetangga kami beberapa orang juga menggunakan jasa ART di rumahnya. Mungkin anak-anakku berpikir, andai di rumah ada ART, aku bisa lebih banyak bersantai dan lebih jarang mengucap kata "Mama capek" ketika menegur mereka. Atau "Mama banyak kerjaan" saat meminta mereka memaklumi kesibukanku.
Tanpa membandingkan atau memandang sebelah mata rumah orang lain, aku memilih untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian. Aku merasa setidaknya sampai saat ini belum membutuhkan ART, meski rumah tidak rapi-rapi amat, masakan juga tidak enak-enak amat, meski gunung setrikaan menghiasi pojok ruangan. Tidak ada yang lebih baik atau buruk, semua hanya tentang preferensi.
Aku memiliki alasanku untuk tidak menggunakan jasa ART.
Pertama, privasi.
Aku sebagai seorang introvert memiliki batas privasi. Selalu lebih nyaman saat rumah hanya diisi dengan orang-orang terdekatku. Terutama tempat pribadi seperti kamar tidur. Tidak nyaman rasanya jika ada orang lain yang menyentuh perabot di dalamnya.
Kedua, nilai kemandirian.
Aku mengharapkan anak-anakku terdidik dengan sikap mendiri. Aku melatih anak-anak secara bertahap dengan meminta mereka sesekali mengerjakan tugas rumah tangga yang kuanggap aman dan sesuai kemampuan.
Kami juga menggunakan kesempatan itu sebagai sarana family time. Ketika meminta anak-anak melipat baju mereka, misalnya, kami bercengkrama dan ngobrol. Begitu juga ketika mereka kuminta membersihkan teras, ada sesi diskusi dan negosiasi antara anak dalam menyelesaikan tugas yang kuberikan.
Ketiga, finansial.
Aku pribadi menganggap bahwa waktu adalah hal mahal yang ditukar dengan uang. Sebaliknya, uang ditukar dengan waktu. Misalnya, kalau aku bisa mencuci sendiri dalam satu jam, rasanya sayang kalau harus membayar orang lain melakukannya. Uang itu bisa aku alihkan untuk kebutuhan lain anak-anak, entah beli buku, mainan edukatif, atau sekadar jajanan kesukaan mereka. Sementara dalam kondisiku saat ini, sebagai ibu rumah tangga full time, aku merasa punya cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi, aku memilih menggunakan waktuku daripada mengeluarkan uang untuk hal yang sebenarnya masih bisa aku kerjakan sendiri.
Ada senang ada susah dalam setiap pilihan yang kuambil. Dari sisi positif, keluarga kami cukup terbiasa untuk bekerja sama menyelesaikan pekerjaan rumah. Ada tugas khusus bagi setiap anggota keluarga, dan sifatnya fleksibel. Misalnya saat libur, tugas mereka banyak dibanding hari biasa saat mereka harus sibuk dengan urusan sekolah. Saat masa ujian, aku bahkan menoleransi lebih banyak lagi.
Rumah bagi kami adalah laboratorium belajar kehidupan sehari-hari. Aku berharap kelak ketika anak-anak menjadi dewasa, masuk pesantren, ngekos, sampai berkeluarga, mereka memiliki skill dasar pekerjaan rumah tangga. Terutama anak laki-laki, aku tidak ingin ada bentuk patriarki dalam kehidupan mereka. Dan tentunya aku juga berharap anak perempuanku memiliki suami yang peka dan ringan tangan mengerjakan pekerjaan rumah.
Tentu saja, setiap pilihan punya konsekuensinya. Tidak menggunakan ART juga bukan tanpa tantangan. Sebagai ibu dengan tiga anak yang sedang mengandung, aku sering menghadapi lelah fisik maupun mental. Kadang rumah berantakan, kadang energi habis sebelum semua pekerjaan selesai.
Meski ada lelah yang harus aku tanggung, aku belajar untuk menurunkan standar dan berdamai dengan keadaan. Rumah tidak selalu rapi, makanan tidak selalu enak, dan aku tidak bisa perfeksionis. Tapi justru di situ letak seni menjalani hidup. Belajar santai, tenang, dan tidak terburu-buru.
Aku percaya dari rumah, anak-anak belajar banyak hal. Mandiri, saling membantu, dan menghargai kerja keras. Bagi kami, rumah bukan sekadar tempat tinggal, tapi ruang tumbuh bersama.
Tanpa ART, mungkin aku lebih capek. Tapi aku juga lebih dekat dengan anak-anak. Dan untukku, itu jauh lebih berharga. Meniatkan segalanya lillah menjadi obat yang menyembuhkan. Mengingat balasan surga adalah hiburan yang menyejukkan.
Komentar
Posting Komentar