Yang Berubah Setelah Menikah

Catatan: Aku menuliskan ini sebagai seorang wanita yang setelah menikah menjadi Ibu Rumah Tangga. Bila ada hal yang tidak sesuai atau tidak relate dengan teman-teman working moms, mohon maklum, ya.

Aku baru saja mengunci pintu kamar mandi, ketika anak itu memanggilku dari baliknya.
“Mamaaa... mamaa... aku mau pup

Baru duduk akan menyuapkan makananku, anak itu datang lagi, memberondongku dengan lusinan pertanyaan.

Mataku baru saja terpejam, tak sengaja tertidur setelah selesai memasak dan merapikan dapur, ketika suara kecil bertanya, “Ma, makan siang pakai apa?” Padahal panci panas berisi sup dan lauk masih mengepul di atas kompor.

Anak siapa itu? Anakku. Semuanya cerita tentang anakku.

Sejujurnya aku tak pernah menyangka akan ada begitu banyak perubahan setelah menikah. Selain tinggal bersama lelaki yang dulu bahkan tak kukenal dekat, aku masih terkejut dengan kehadiran anak kecil yang terlahir dari rahimku sendiri. Sesuatu yang sebelum menikah tak pernah kubayangkan seribet ini.

Jadi tulisan ini kudedikasikan untuk diriku sendiri, juga untuk banyak ibu di luar sana, serta untuk perempuan yang akan menikah, semoga bisa memberimu sedikit gambaran.




Dalam kasusku, apa saja, sih, yang berubah setelah menikah?

Soal me-time.
Mandi, makan, membaca buku, membuka gawai… banyak. 
Bagi seorang gadis jomblo, rasanya mandi setengah jam pun masih kurang, bukan?
Berlama-lama makan sambil menikmati kuliner favorit, itu hiburan yang sangat mudah dilakukan. Aku ingat betul saat masih gadis, bisa tetap di atas kasur dari pagi sampai sore hanya ditemani buku kesayangan. Kalau sudah sibuk dengan laptop, aku bahkan bisa lupa waktu, tahu-tahu beduk subuh bertalu.

Sekarang? Bisa masuk toilet dengan tenang saja sudah luar biasa. Makan pun sering harus berlomba dengan waktu. Apalagi kalau makan di luar rumah, mi ayam yang kupesan bersama suami tak jarang jadi lembek duluan, karena harus bergantian menjaga anak. Membaca buku atau main gawai dengan tenang? Satu jam masih mungkin saat anak tidur, tapi jangan berharap lebih dari itu.

Hal lain yang ikut berubah adalah jam tidur malam.
Dulu, setelah menjalani hari yang sibuk, kapanpun mengantuk tinggal rebah dan pejamkan mata. Setelah punya anak, semua bergantung pada mereka. Tidur jam 12? Jam 1? Jam 3 dini hari? Semua bisa terjadi.

Aku masih ingat pernah menemani bayiku yang tak kunjung tidur hingga jam 3 malam, padahal saat itu bulan Ramadhan. Sering kali aku ketiduran dalam keadaan duduk, karena harus mengawasi bayi begadang yang sedang belajar merangkak. Setelah ia tertidur, aku baru menyiapkan sahur dan membangunkan seisi rumah. Siangnya tetap harus aktif menemani anak yang lebih besar berpuasa, berusaha mencari kegiatan yang membuat mereka lupa rasa lapar.

Agak lebay mungkin, tapi jujur aku bersyukur masih hidup saat itu. Haha.

Itu baru soal waktu. Belum lagi kalau bicara tentang pola pikir dan prioritas.

Dulu aku bisa dengan santai memikirkan apa yang membuatku senang, seperti pergi ke mana pun dengan teman. Sekarang, mau tidak mau, isi kepalaku lebih banyak soal keluarga: makan anak-anak, kesehatan mereka, masa depan rumah tangga, dan permintaan kecil mereka yang kadang harus kuperhitungkan.

Hal-hal kecil yang dulu gampang kuabaikan, kini harus kupikirkan matang-matang. Dari soal belanja bulanan, pengeluaran, sampai rencana jangka panjang.

Semua itu membuatku sadar, menikah ternyata bukan hanya soal berbagi rumah dan nama keluarga, tapi juga berbagi isi kepalatentang apa yang harus dipikirkan, diputuskan, dan diprioritaskan setiap hari. Menikah tak sekadar tinggal bersama, namun hidup bersama. Terikat satu sama lain. 

Setelah menjalani hidup berumah tangga, aku merasa perlu tetap menjaga jati diriku meski punya banyak peran. Sebagai seorang perempuan yang utuh. Iya, aku adalah istri, aku adalah ibu, namun aku juga seorang wanita yang punya dunianya sendiri. Maka aku mengusahakan itu.

Seiring anak makin besar, aku mulai kembali menjalani hobiku. Mencoba hal-hal receh yang dulu tak sempat kulakukan. Aku mencari kebahagiaan dari hal-hal kecil, bukan untuk egoku, tapi agar tetap waras dan bisa membagikan cinta pada keluarga.

Menjadi ibu itu tampaknya pekerjaan yang tak akan usai, sampai hembusan nafas terakhir. Aku mengumpamakan diriku sebagai pusat keluarga. Aku bukan kepala, tapi nafasnya. Untuk itu aku butuh jiwa yang bahagia, support system yang kuat, dan kesehatan mental yang terjaga. Demi apa? (Demi un grr) Demi profesionalitasku sebagai ibu dan istri tetap terjaga. Demi tangki cintaku tetap penuh, sehingga bisa mengisi tangki cinta keluargaku.

Menikah itu ternyata all about communication. Antara suami dan istri, antara orang tua dan anak. Bagaimana mengungkapkan perasaan, mengekspresikan keinginan, menjaga keterbukaan, dan berempati satu sama lain.

Meski kadang tidak sesuai ekspektasi, meski ada harapan yang runtuh karena terlalu tinggi… tetap, saling memahami adalah kunci.

Dan tentu saja, pertumbuhan spiritual harus dipupuk. Sabar, syukur, ikhlas, dan melakukannya dengan cinta, bukan transaksional. Menikah adalah proses pendewasaan, sekolah tanpa kelulusan, karena kurikulum yang dihadapi adalah makhlyk hidup yang punya hati, banyak kepala dengan kepribadian berbeda.

Pada akhirnya, semua perubahan itu wajar. Dunia memang dinamis, begitu juga kita. Menikah adalah jalan seseorang bertumbuh menjadi versi baru dari dirinya: berkorban, mengerti, mengalah, berjuang, ikhlas, ikhtiar, dan berdoa tanpa henti.

Satu-satunya hal yang jangan sampai hilang adalah jati diri. Meski menikah, meski banyak hal (mau tak mau) berubah, tetaplah menjadi wanita yang bahagia. Dengan caramu sendiri.

Komentar