Larangan Adalah Cinta
Hari itu, anakku bertanya dengan serius, “Si Fulan dibolehkan sama orangtuanya, kenapa aku enggak, Mah?”
Pertanyaan klasik yang keluar dari mulut hampir semua anakku. Tiga pribadi, tiga pertanyaan, namun inti jawabannya selalu sama.
Lagi-lagi aku harus kembali mengulang penjelasan. Tidak masalah, memang seperti inilah peran orang tua di hadapan anak: menjadi tempat bertanya, berkeluh kesah, dan mengungkap perasaan.
Misalnya saja si sulung bertanya mengapa tidak dibolehkan menonton film horor. Atau si bungsu yang tidak terima dilarang menonton tayangan anomali. Si tengah juga bersuara mengenai waktu mabar yang kubatasi.
Di satu masa, aku meragukan keputusanku membuat larangan. Aku bertanya pada diriku, apakah sudah benar? Padahal aku memutuskannya setelah belajar dan melakukan observasi.
Kadang aku khawatir, bagaimana bila anak-anakku melanggar diam-diam? Apa sebaiknya kulonggarkan saja? Namun aku paham apa yang baik dan tidak untuk mereka.
Kadang aku takut mereka jadi kurang bahagia. Namun semua aturan yang kubuat kuramu demikian rupa.
Aku sadar, anak-anakku tidak dilahirkan untuk bersenang-senang dan dituruti semua keinginannya. Mereka ada di dunia untuk kudidik menjadi pribadi yang saleh, taat kepada Allah, dan bermanfaat bagi umat manusia. Aku ingin anak-anakku memiliki value yang baik. Tidak ingin memaksakan mereka harus begini atau begitu, aku punya standar minimalku sendiri, dan itu tidak muluk-muluk.
Aku merasa perlu membiasakan anak-anakku dengan perintah dan larangan. Karena seorang muslim memang hidup demikian. Kadang bahkan aku yang sudah dewasa tidak bisa langsung memahami hikmah Allah memerintahkan ini, melarang itu, dan menakdirkan demikian. Aku butuh mendengar penjelasan, membaca literatur, dan memahami takdir seiring berjalannya waktu.
Menjawab pertanyaan anak-anakku, aku punya poin-poin sendiri yang selalu kuulang meski konteks dan diksinya berbeda.
Pertama, tiap rumah memiliki aturan yang berbeda. Anak perlu paham bahwa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Tidak perlu membandingkan antara rumah kita dengan orang lain. Aku berusaha untuk tidak terlihat menghakimi atau mengkritik aturan keluarga lain, meskipun kadang... sulit.
Kedua, aku kadang menceritakan pengalaman pribadi atau orang sekitar. Jika menonton horor, misalnya, seorang anak berpotensi mimpi buruk, takut pada hal-hal remeh, dan merusak tauhid. Bahkan kadang anakku refleks membahas efek samping yang dialami temannya karena menonton horor. Artinya, sebetulnya dia tahu—hanya butuh penegasan.
Ketiga, aku menjelaskan alasan larangan. Misalnya pada si bungsu, aku jelaskan mengapa aku melarang tontonan anomali yang konon bisa mengakibatkan brain rot. Aku berusaha menjelaskan dengan bahasa yang mudah ia mengerti.
Keempat, repetisi. Mungkin penjelasanku tidak langsung dipahami. Kadang hati anak tertutup rasa kesal dan kecewa. Namun aku tahu, pengulangan akan membekas. Alih-alih malas berdebat dan memilih mengalah, anak justru bisa merasa mendapatkan “senjata” untuk menang dan menang lagi. Akhirnya orang tua tidak lagi membimbing, hanya mengikuti ego anak. Tanpa disadari, anak makin dewasa dan terbentuk dengan pola itu.
Aku sendiri belum tahu apakah metodeku berhasil. Aku hanya bisa berusaha, lalu menyerahkan semua hasilnya kepada Allah, Dzat pemberi hidayah dan taufik. Hanya kepada-Nya lah kita memohon pertolongan, hanya Dia-lah yang Maha Mendengar.
Semoga anak-anakku kelak mengerti, bahwa di balik larangan orangtuanya, ada cinta yang ingin menjaga mereka.
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu. Wahai Dzat yang mengarahkan hati, arahkanlah hati kami pada ketaatan kepada-Mu.
Komentar
Posting Komentar