Cerita Balon, Hak, dan Akhlak Anak

Di tengah hangatnya isu korupsi dan tonedeaf para pejabat negeri ini, tentu orangtua sepertiku merasa sedikit khawatir akan masa depan anak-anakku kelak. Bagaimana mereka akan hidup di sebuah negara yang moral pejabatnya hancur? Apakah mereka bisa mempertahankan nilai Islami dan adab yang baik di tengah gempuran ketidakjujuran dan nir-akhlak yang menjamur di kalangan bangsaku? Apakah mereka bisa menahan diri dari godaan duniawi yang menipu? 

Aku ingin membagikan sebuah kebiasaan yang aku tanamkan pada anak-anakku, untuk melatih mereka sejak dini, sebagai ikhtiar membekali mereka dengan akhlak karimah.

Salah satunya adalah menghargai hak saudara/i kandung.

Kendati lahir dari rahim yang sama dan tumbuh dalam rumah dan didikan yang sama, bagiku tiap anak memiliki hak dan privasi yang menjadi milik mereka. Barang yang dimiliki satu anak, entah itu pemberian dariku ataupun dibeli dari hasil tabungannya sendiri, tidak lantas otomatis menjadi hak milik saudaranya.

Tiap anak kutegaskan untuk meminta izin terlebih dahulu sebelum meminjam atau meminta barang yang dimiliki saudaranya. Jika dibolehkan, alhamdulillah. Jika tidak, tidak boleh memaksa.



Contohnya seperti kejadian hari ini, suamiku membawakan tiga buah balon untuk anak-anak. Romi memainkan miliknya dengan antusias, Umar sedikit berminat lalu meninggalkannya, dan Jihan bahkan tidak melirik sama sekali.

Saking antusias melempar dan meremas balon miliknya, balon milik Romi meletus. Ia menangis karena sangat menyukai balon itu dan berharap bisa memainkannya lebih lama. Aku berusaha membujuknya dan menenangkan, tidak perlu terlalu bersedih, kita bisa beli lagi nanti atau besok -insya Allah, namun tangisannya makin kencang dan heboh.

Akhirnya aku bilang, “Itu, dek, masih ada dua lagi. Pakai aja dulu.”

Aku mengatakan itu karena tahu betul anak-anakku yang 7+ sudah bukan masanya suka bermain balon, dan bahkan tidak akan mempermasalahkannya bila meletus di tangan sang adik. Ditambah sikap kedua kakak yang tidak tertarik dengan mainan itu. 

Romi masih menangis, lalu menjawab, “Aku nggak mau, itu kan punya Kakak…”

Aku bilang, “Kakak nggak mau main balon. Coba Dedek tanya ke Kakak, deh…”

Dengan takut-takut, takut ditolak dan kecewa, lebih tepatnya- ia menghampiri Kakaknya dan bertanya, “Kakak mau main balon, nggak?”

Sang Kakak menjawab seperti dugaanku, “Enggak…”

“Boleh aku pakai?” Nadanya mulai sedikit riang.

“Boleeeeh…”

Dan Romi pun tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Meski ia meledakkan dua balon sisanya, tak ada protes apapun dari para kakak.

Kejadian seperti itu sangat sering terjadi di rumah. Kadang salah satu harus kecewa saat tidak diizinkan, namun itu memang konsekuensinya. Aku tidak bisa mendukung anak yang lebih kecil untuk selalu diberi, dan yang besar untuk selalu mengalah.

Kendati demikian, aku kadang menegur jika salah seorang yang agak kurang murah hati, misal saudaranya ingin meminjam spidol sebentar untuk menulis nama dan tidak dibolehkan, aku akan menegur anak yang enggan berbagi.

Beda lagi jika kuantitas yang diminta cukup banyak atau sering, aku akan menegur anak yang sering meminjam agar tidak terlalu sering melakukannya.

Ada kalanya kita bersikap royal pada saudara kandung, tanpa banyak perhitungan. Begitu pula antara anak dengan orangtua, namun ingat, ada hak dan privasi yang harus dijaga.

Hal ini mengingatkanku pada salah satu satu prinsip akhlak Islam, yaitu menjaga harta orang lain. Anak-anak perlu dilatih sejak dini untuk bisa menghargai dan menjaga harta yang dimiliki oleh saudaranya, karena keluarga merupakan miniatur kehidupan masyarakat yang insya Allah kelak akan ia jajaki. Maka keluarga adalah salah satu tempat terbaik untuk belajar dan melatih diri. 

Terkait hal yang aku ceritakan di atas, ada nilai moral yang bisa aku sebutkan dan berharap tertanam dalam diri anak-anakku:

1. Amanah (menjaga kepercayaan).

2. Sabar dan ridha atas ketidakmampuan memperoleh sesuatu.

3. Mengajarkan anak menerima penolakan dengan sabar, tidak marah atau iri.

4. Adab dalam meminta, tidak memaksa dan keras kepala.

5. Tidak serakah dan bersyukur. Terbiasa mensyukuri apa yang dimiliki, tanpa banyak melihat pada milik orang lain. 

6. Silaturahmi dan kasih sayang antar saudara dengan berbagi dan menghargai hak lainnya. 

Ya Allah, bimbing anak-anakku dan tumbuhkan mereka dengan akhlak yang baik, hati yang lembut, dan nilai-nilai Islami yang kokoh. Bimbinglah mereka selalu dalam setiap langkah, jauhkan dari sifat tercela, dan jadikan mereka hamba-Mu yang jujur, penyayang, dan bertanggung jawab. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Kata-Kata Bahasa Arab Sedih dan Artinya [+Gambar]

Renungan Anak Santri

35 Quotes About Love dan Artinya