Rumah Yang Sepi, Kepala Yang Ramai

Akhir-akhir ini aku merasa sumpek. Rasanya rumah makin penuh, padahal tidak ada barang baru yang dibeli. Tapi setiap sudut terasa sesak. Lemari seperti tumpah, laci tak lagi bisa tertutup rapi, dan lantai makin sempit dijejali barang yang entah kapan terakhir kali dipakai.

Aku coba duduk sejenak, memikirkan keadaan sekitar. Di rak pojok, ada sepatu lama yang sudah bertahun-tahun tidak disentuh. Bukan karena rusak, tapi karena sudah tidak cocok lagi digunakan. Di dalam kotak, buku pelajaran anak-anak dari tahun ajaran lalu masih tersimpan rapi. Tidak akan dibaca lagi, tapi rasanya sayang untuk dibuang. Di dapur, blender rusak masih ada di pojokan lemari, meskipun sudah punya yang baru.

Dan itu belum seberapa. Ada mainan anak yang sudah hilang sebelah, baju yang tak pernah muat lagi, kabel-kabel tanpa fungsi, bahkan email-email lama yang tak pernah dibuka. Semua diam di tempatnya, tapi rasanya bising.

Lama-lama aku sadar, mungkin bukan cuma rumah ini yang butuh dibereskan. Aku juga. Isi kepala dan hati sudah terlalu penuh. Rasanya banyak hal yang kupendam, banyak rencana yang tertunda, banyak energi yang terpakai hanya untuk memikirkan hal-hal yang sebenarnya sudah waktunya disingkirkan.

Aku butuh ruang. Ruang untuk bernapas. Ruang untuk berpikir lebih jernih. Ruang untuk mulai lagi dengan lebih ringan. Dan satu-satunya cara adalah mulai membereskan—bukan hanya rak dan lemari, tapi juga pikiran.

Decluttering bukan cuma soal membuang barang. Ini soal memilah: mana yang masih layak disimpan, mana yang harus dilepaskan. Mana yang punya makna, dan mana yang hanya menambah beban.

Dengan membereskan barang, aku belajar melepaskan keterikatan. Bahwa tidak semua hal harus dipertahankan hanya karena punya cerita. Beberapa hal lebih baik dilepaskan agar cerita baru bisa dimulai.

Menata ulang rumah ternyata menata ulang pikiranku juga. Ada kelegaan saat melihat ruang kosong. Ada ketenangan saat melihat laci tertutup rapi. Dan ada rasa puas saat akhirnya bisa berkata, “Aku tidak butuh ini lagi.”

Mungkin sesekali kita perlu duduk, memperhatikan rumah kita sendiri, lalu jujur pada diri: apakah semua yang ada di sini benar-benar kita perlukan? Atau kita hanya terbiasa membiarkan semuanya tinggal, tanpa pernah bertanya apakah mereka masih layak?

Aku sedang belajar pelan-pelan. Menyortir, memilah, mengikhlaskan, dan menciptakan ruang. Bukan hanya di rumah, tapi juga di hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Kata-Kata Bahasa Arab Sedih dan Artinya [+Gambar]

Renungan Anak Santri

35 Quotes About Love dan Artinya