Suara Kecil yang Sering Terlupakan
Di antara kesibukan memvalidasi perasaan sensitif putri remajaku dan meladeni putra bungsu yang selalu menempel tiada henti, ada suara kecil yang kerap tak terdengar—atau mungkin kuabaikan: anak tengahku.
Sifatnya cenderung keras, suka mendebat, banyak menawar aturan, dan sering manja layaknya balita. Sederhananya, ia masih terlalu kecil untuk dikatakan mandiri, namun postur tubuhnya yang tinggi membuatnya terlihat terlalu besar untuk selalu dilayani.
Dilema seorang anak tengah—sebagaimana banyak orang tahu dan banyak dialami—ibarat hidup dalam bayang-bayang. Dituntut untuk menuruti Sang Kakak yang lebih senior, sekaligus harus mengalah pada Sang Adik yang masih kecil. Ia harus membagi sikap: sopan pada yang tua, mengasihi yang muda. Padahal, di usianya, itu jelas tidak mudah.
Dalam keramaian rumah setiap hari, aku sering merasa seperti wasit di antara anak-anakku. Menjadi tempat mengadu saat mereka saling berargumen, bahkan saling memukul. Si Tengah nyaris selalu menjadi finalis tetap. Kadang melawan adiknya, kadang berselisih dengan kakaknya. Kendati aku berusaha bersikap objektif, tetap saja tidak ada keputusan yang bisa sepenuhnya diterima semua pihak. Maka, kadang aku membiarkan keributan berlanjut tanpa memihak siapa pun. Toh, nanti biasanya akan reda sendiri. Tanpa kusadari, aku sedang mengabaikan perasaan anak-anak yang porak-poranda.
Perasaan bersalah selalu datang setelah aku berdebat panjang dengannya. Sering kali aku tak menanggapi ucapannya dengan sungguh-sungguh, atau menolak permintaannya membeli barang yang menurutku terlalu mahal—lalu menawarkan alternatif yang lebih sederhana. Aku hanya ingin mengajarkan bagaimana mengelola keuangan sejak dini. Namun tetap saja, ada perasaan seolah aku terlalu keras padanya.
Berulang kali aku bertanya pada diri sendiri, meski sebenarnya jawabannya sudah kutahu: Apakah sikapnya yang keras, manja, suka membantah, dan sensitif ini adalah akibat dari pola didikku yang tidak seimbang? Apakah aku telah berlaku timpang dalam memperlakukan anak-anakku? Jawabannya, iya. Meski tak kusadari. Meski tak pernah kusengaja.
Aku tahu, di balik sikap ngeyelnya itu, ia menyimpan sisi yang hangat. Ia penyayang dan peduli pada saudara-saudaranya, perhatian terhadap teman, lembut pada peliharaan, dan menunjukkan kepemimpinan yang cukup matang. Ia dengan sukarela mengambilkan nasi untuk adiknya ketika aku sedang sibuk. Ia dipercaya guru untuk memimpin kelompok, bahkan membantu temannya yang kesulitan.
Dalam doa, kusebut namanya. Kuharap Allah menumbuhkannya dengan akhlak yang mulia, tanggung jawab yang kokoh, dan jiwa kepemimpinan yang bermanfaat—baik dalam keluarga maupun di masyarakat yang lebih luas.
Saat menulis ini, aku seperti tersadarkan kembali. Anak tetaplah anak—manusia kecil yang dulu hidup dalam ragaku. Tak peduli berapa usianya, sebesar apa tubuhnya, ia tetap seorang anak kecil yang membutuhkan perhatian orang tua, butuh diajari dengan bijak, dan dimengerti tanpa merasa dikesampingkan.
Komentar
Posting Komentar