Menulis Meski Sepi
Impianku sejak dulu adalah menjadi seorang penulis. Seseorang yang tulisannya dibaca, dikenal, dijadikan inspirasi, berbagi wawasan, dan bisa mengubah pola pikir orang lain menjadi lebih baik. Aku bahkan berharap bisa menulis sebuah buku dan membagikan tanda tanganku pada para penggemar.
Namun kenyataannya, sampai sekarang aku hanyalah penulis sunyi. Blogger yang tidak dikenal orang. Tulisan-tulisanku belum mampu menarik banyak pembaca untuk kembali. Sepi, tanpa komentar dan umpan balik. Bahkan, ada beberapa artikel di blogku yang sama sekali tidak dibaca. Sedih? Jangan ditanya.
Setiap penulis pasti berharap suaranya bisa menggema dan sampai ke banyak orang. Tapi suaraku seperti tenggelam di tengah debur ombak. Seperti bicara pada tembok—tak terdengar, apalagi mendapat jawaban.
Aku sadar, mungkin tulisanku memang belum “menjual”. Curhatan sehari-hari dengan gayaku tidak selalu diminati. Bayangkan saja, harus membaca keluhan orang yang tidak kamu kenal dan hidupnya tak berkaitan denganmu—pasti membosankan.
Namun, kesunyian yang membuatku sedih bukan cuma soal jumlah pembaca. Tapi tentang rasa kehilangan koneksi, hilangnya chemistry antara penulis dan pembaca.
Meski begitu, aku masih tetap menulis. Menepikan soal statistik dan siapa yang membaca. Apakah ini yang disebut penulis sejati? Entahlah, mungkin.
Bagiku, menulis adalah cara aman untuk meluapkan emosi. Menumpahkan isi hati ke halaman blog membuatku merasa lebih lega dan waras. Aku yakin, suatu hari nanti saat membaca ulang, aku bisa mengenang kembali rasa-rasa yang pernah ada—seperti melihat dokumentasi hidup dalam bentuk aksara.
Sejak dulu aku suka menulis di buku harian, sampai akhirnya pindah ke media sosial. Kadang, beberapa teman membaca dan memberikan komentar. Katanya, tulisanku renyah, enak dibaca dan membuat mereka betah berlama-lama. Aku senang, tapi mencoba untuk tetap rendah hati.
Tapi mungkin, terlepas dari kemampuan itu, pasarku terlalu kecil, anggaplah eksklusif –dalam bahasa yang diperhalus. Aku perlu berani keluar dari zona nyaman: lebih lantang, banyak melakukan riset, mencoba tema baru, bereksperimen dengan gaya dan genre, serta belajar lagi cara menyampaikan pesan dengan lebih efektif.
Jika tulisan-tulisanku bisa bermanfaat bagi satu orang saja, meski sesederhana membuatnya terhibur, itu sudah cukup. Aku ingin tetap hadir, meski pelan. Karena suara kecil pun punya kekuatan, jika terus dilatih dan tak padam.
Komentar
Posting Komentar