Mengapa Aku Tidak Menyetrika Hari Ini

Hari ini, aku kembali tidak menyetrika. Rutinitas yang biasanya kulakukan sekali sepekan itu—lagi-lagi—kuabaikan.

Bukan karena tumpukan baju itu tak tampak, bukan pula karena suami dan anak-anakku tidak membutuhkan seragam yang rapi. Pekan ini, aku hanya ingin memilih diriku sendiri.

Kali ini, aku memilih untuk sedikit bersantai. Tidak melakukan pekerjaan yang tidak benar-benar harus kulakukan saat ini juga. Pakaian anak-anak dan suamiku di lemari masih banyak. Seragam mereka...? Mudah saja, kusetrika dadakan setengah jam sebelum mereka berangkat.


Memilih tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga atau laundry berarti aku siap mengurus hampir semua pekerjaan di rumah—tentu saja, karena suamiku sudah cukup sibuk bekerja di luar.

Namun kesiapan mental juga ada masa soak-nya, ibarat baterai yang kadang butuh diisi ulang. Semangatku seperti alat elektronik yang bisa ngebul juga kalau dipaksa terus-menerus.

Aku merasa bahwa rasa malas itu manusiawi—bukan bermalas-malasan. Aku masih tetap memasak, menyapu, mengepel, mencuci, dan menertibkan anak-anak, kendati aku berniat untuk “tidak ngapa-ngapain” hari ini. Hihi, lucu ya. Tapi memang, seorang ibu tidak bisa malas dengan totalitas.

Menjadi ibu rumah tangga terkadang membuatku merasa dinilai dari apa yang kulakukan, dari hasil yang terlihat, tanpa banyak yang menyadari bahwa aku juga punya batin yang perlu dijaga kestabilannya. Kadang semangatku on fire, kadang melempem seperti kerupuk kena kuah bakso. Hmm, lembek namun tetap bisa dinikmati oleh orang yang menerima apa adanya (Aduh... aku jadi mulai lapar).

Bukan berarti aku menganggap menjadi ibu rumah tangga itu buruk. Justru aku memilih peran ini karena aku merasa bisa menjadi diriku sendiri, tanpa perlu memasang topeng di balik wajahku. Suami dan anak-anak adalah orang-orang yang mau menerimaku dalam kondisi "bare face".

Memaklumi diriku yang tidak melakukan kewajiban pekanan ini adalah salah satu bentuk rasa cinta dan penghormatanku pada diri sendiri. Bukan berarti aku akan berhenti. Aku bersyukur bisa melakukan pekerjaan yang menyenangkan dan—insya Allah—berpahala ini. Aku akan kembali melakukannya, lagi dan lagi. Meski sesekali, aku akan kembali memprioritaskan diriku sendiri, di atas rutinitas rumah yang tiada habisnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Kata-Kata Bahasa Arab Sedih dan Artinya [+Gambar]

Renungan Anak Santri

35 Quotes About Love dan Artinya