Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2025

Belajar Mandiri Bersama Anak-anak

Gambar
Anak-anakku bertanya, "Mah, kenapa kita nggak punya ART (Asisten Rumah Tangga)?" Bukan sekali atau dua kali pertanyaan ini diajukan padaku. Yang dulunya sempat kagok menjawab, sekarang aku lebih rileks mengungkapkan alasannya. Tidak menyalahkan rasa penasaran mereka, tetangga kami beberapa orang juga menggunakan jasa ART di rumahnya. Mungkin anak-anakku berpikir, andai di rumah ada ART, aku bisa lebih banyak bersantai dan lebih jarang mengucap kata "Mama capek" ketika menegur mereka. Atau "Mama banyak kerjaan" saat meminta mereka memaklumi kesibukanku.  Tanpa membandingkan atau memandang sebelah mata rumah orang lain, aku memilih untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian. Aku merasa setidaknya sampai saat ini belum membutuhkan ART, meski rumah tidak rapi-rapi amat, masakan juga tidak enak-enak amat, meski gunung setrikaan menghiasi pojok ruangan. Tidak ada yang lebih baik atau buruk, semua hanya tentang preferensi. Aku memiliki alasanku untuk tidak...

Jejak Cinta Yang Tersisa

Gambar
 Saat scrolling media sosial, aku melihat sebuah konten. Isinya tentang anak yang ibunya meninggal saat melahirkannya. Ada narasi yang kurang lebih begini bunyinya, "Andai Mama tidak melahirkanku, mungkin Mama masih hidup sampai saat ini". Aku mengalihkan pikiranku ke kolom komentar. Ternyata di luar sana ada banyak kisah yang sama sepertiku, ibu yang justru meninggalkan dunia tepat setelah melahirkan anaknya ke dunia. Aku, yang dilahirkan 34 tahun lalu. Sejenak rasanya seperti bercermin pada cerita orang lain. Banyak komentar yang memberikan penghiburan, "Mamamu kini di surga, semoga ia syahid", "Mamamu pasti bangga", "Kamu hebat telah melewati ini semua"... komentar itu membuatku turut merasa terkuatkan. Namun ada satu komentar yang membuatku tercekat. Membuat air mataku tak tertahankan, aku pun menangis tersedu begitu lama karenanya. "Jika ibumu bisa mengulang waktu dan diberi pilihan, pasti ia akan kembali memilih untuk melahirkanmu...

Menulis Adalah Pensieve Versiku

Gambar
Pensieve adalah benda fiktif dalam novel Harry Potter, berupa mangkuk batu perak tempat menyimpan ingatan. Para tokoh mengeluarkan benang putih dari kepala mereka, menyimpannya di sana, lalu mengamatinya kembali bila diperlukan. Sebagai generasi milenial -Potterhead- yang tumbuh bersama terbitnya novel ini di tahun 2000-an, aku sempat berkhayal betapa serunya memiliki Pensieve. Andai bisa meluangkan kepala yang penuh, tidak terbebani dengan banyak kenangan yang sebagian di antaranya tidak terlalu bagus. Seperti kejadian mengesalkan dengan teman, atau pikiran tak penting yang melelahkan… asal jangan hafalan Qur’an yang ikut hilang. Terkadang pikiran itu berjubel seperti lemari penuh berkas. Sebagian penting, sebagiannya ingin dihapus. Kadang pikiran itu menghantui bahkan saat rebah, bahkan menjelma dalam bentuk bunga tidur. To-do list yang tak kunjung selesai, pesan yang belum terbalas, atau kekhawatiran kecil yang kita simpan rapat-rapat. Banyak hal membuat senang, sedih, khawatir... r...

Yang Berubah Setelah Menikah

Gambar
Catatan: Aku menuliskan ini sebagai seorang wanita yang setelah menikah menjadi Ibu Rumah Tangga. Bila ada hal yang tidak sesuai atau tidak relate dengan teman-teman working moms , mohon maklum, ya. Aku baru saja mengunci pintu kamar mandi, ketika anak itu memanggilku dari baliknya. “Mamaaa... mamaa... aku mau pup ” Baru duduk akan menyuapkan makananku, anak itu datang lagi, memberondongku dengan lusinan pertanyaan. Mataku baru saja terpejam, tak sengaja tertidur setelah selesai memasak dan merapikan dapur, ketika suara kecil bertanya, “Ma, makan siang pakai apa?” Padahal panci panas berisi sup dan lauk masih mengepul di atas kompor. Anak siapa itu? Anakku. Semuanya cerita tentang anakku. Sejujurnya aku tak pernah menyangka akan ada begitu banyak perubahan setelah menikah. Selain tinggal bersama lelaki yang dulu bahkan tak kukenal dekat, aku masih terkejut dengan kehadiran anak kecil yang terlahir dari rahimku sendiri. Sesuatu yang sebelum menikah tak pernah kubayangkan seribet ini. J...

Larangan Adalah Cinta

Gambar
Hari itu, anakku bertanya dengan serius, “Si Fulan dibolehkan sama orangtuanya, kenapa aku enggak, Mah?” Pertanyaan klasik yang keluar dari mulut hampir semua anakku. Tiga pribadi, tiga pertanyaan, namun inti jawabannya selalu sama.  Lagi-lagi aku harus kembali mengulang penjelasan. Tidak masalah, memang seperti inilah peran orang tua di hadapan anak: menjadi tempat bertanya, berkeluh kesah, dan mengungkap perasaan. Misalnya saja si sulung bertanya mengapa tidak dibolehkan menonton film horor. Atau si bungsu yang tidak terima dilarang menonton tayangan anomali. Si tengah juga bersuara mengenai waktu mabar yang kubatasi. Di satu masa, aku meragukan keputusanku membuat larangan. Aku bertanya pada diriku, apakah sudah benar? Padahal aku memutuskannya setelah belajar dan melakukan observasi. Kadang aku khawatir, bagaimana bila anak-anakku melanggar diam-diam? Apa sebaiknya kulonggarkan saja? Namun aku paham apa yang baik dan tidak untuk mereka. Kadang aku takut mereka jadi kurang baha...

Pelajaran Besar Dari Pengalaman Kecil

Gambar
Bertahun lalu, saya sangat menginginkan satu paket buku ensiklopedia bernilai jutaan rupiah. Harganya terasa begitu besar, tidak hanya saat itu, bahkan hingga sekarang. Bayangan bisa membolak-balik halaman tebal, memajangnya di rak, dan kelak akan dibaca juga oleh anak-anak saya, rasanya seperti memiliki barang mewah yang sangat membanggakan.  Suatu hari saya iseng menulis status di Facebook, berandai-andai: "Kalau punya uang tiga juta, jika dipakai beli HP, paling kesenangannya bertahan beberapa tahun saja. Namun jika dipakai untuk membeli buku, bisa awet puluhan tahun hingga anak-cucu." Tak disangka, seorang kenalan berkomentar: "Aku lebih milih beli HP, sih. Dipakai jualan, bisa dapat untung lalu baru beli buku." Saya agak tercengang saat itu, melihat orang lain yang pandangannya begitu berbeda, dan menyuarakannya di “rumah” saya. Namun saya tidak membantah. Ia tidak salah. Ia seorang pedagang online, yang mungkin saat itu prioritasnya adalah menghasilkan rupiah....

Cerita Balon, Hak, dan Akhlak Anak

Gambar
Di tengah hangatnya isu korupsi dan tonedeaf  para pejabat negeri ini, tentu orangtua sepertiku merasa sedikit khawatir akan masa depan anak-anakku kelak. Bagaimana mereka akan hidup di sebuah negara yang moral pejabatnya hancur? Apakah mereka bisa mempertahankan nilai Islami dan adab yang baik di tengah gempuran ketidakjujuran dan nir-akhlak yang menjamur di kalangan bangsaku? Apakah mereka bisa menahan diri dari godaan duniawi yang menipu?  Aku ingin membagikan sebuah kebiasaan yang aku tanamkan pada anak-anakku, untuk melatih mereka sejak dini, sebagai ikhtiar membekali mereka dengan akhlak karimah. Salah satunya adalah menghargai hak saudara/i kandung. Kendati lahir dari rahim yang sama dan tumbuh dalam rumah dan didikan yang sama, bagiku tiap anak memiliki hak dan privasi yang menjadi milik mereka. Barang yang dimiliki satu anak, entah itu pemberian dariku ataupun dibeli dari hasil tabungannya sendiri, tidak lantas otomatis menjadi hak milik saudaranya. Tiap anak kutegask...