Mengapa Film Horror Terlarang di Rumahku?
Suatu hari aku membaca chat di grup Whatsapp anakku. Ada salah seorang teman yang menganjurkan anggota grup untuk menonton film horor tertentu. Mungkin film itu, menurutnya, seru dan ia ingin berbagi keseruan itu dengan teman-temannya agar obrolan di sekolah lebih bervariasi.
Aku tidak ingin mengomentari kebijakan orang tua si anak yang mungkin membolehkan tontonan tersebut, meski rating usianya masih di bawah anjuran.
Namun secara pribadi, aku memang sudah lama melarang anak-anakku menonton film horor atau konten apa pun yang berhubungan dengan itu dengan beberapa alasan
Perkembangan psikologis dan otak anak
Anak-anak belum bisa sepenuhnya membedakan antara imajinasi dan kenyataan. Audio, visualisasi, dan suasana mencekam dalam film bisa menempel kuat di memori mereka dan membayangi pikiran dalam waktu lama, bahkan menjelma menjadi khayalan dan mimpi buruk.
Jangankan film horor, anak balitaku yang menonton film anak rating 7+ dengan cerita sederhana pun bisa panik dan stres ketika mendengar suara keras atau melihat adegan menegangkan. Apalagi film yang memang dirancang untuk menakut-nakuti.
Anak butuh rasa aman untuk tumbuh
Perasaan takut pada hantu, penjahat, atau kegelapan membuat anak merasa tidak nyaman ketika sendiri. Ia bisa sering merasa takut bahkan tanpa alasan yang masuk akal. Bagiku, anak-anak perlu tumbuh dengan hati tenang dan suasana yang nyaman, tanpa ketakutan yang tidak perlu.
Berbeda dengan rasa waspada, tentu saja. Waspada perlu ditanamkan karena ada hal-hal berbahaya yang nyata di luar sana.
Adapun rasa takut saat ke kamar mandi, takut tidur di kamar gelap, atau takut sendirian di rumah tidak termasuk hal yang wajar. Mengingat rumah seharusnya menjadi tempat paling aman untuknya.
Sangat penting: nilai spiritual
Film horor umumnya bercerita tentang arwah gentayangan, jin-jin yang berkuasa, ritual kesyirikan, dan makhluk-makhluk menakutkan.
Dalam akidah Islam — agama yang kami yakini — arwah orang yang meninggal disibukkan dengan urusan akhiratnya, bukan bergentayangan di dunia dan menggangu manusia yang masih hidup.
“Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mu’minun: 100)
Begitu juga dengan jin dan setan. Mereka ada, tetapi tidak untuk ditakuti.
Allah berfirman,
“Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.” (QS. An-Nisa: 76)
Manusia justru makhluk paling mulia yang Allah ciptakan.
“Sungguh Kami telah memuliakan anak Adam.” (QS. Al-Isra’: 70)
Maka aku tidak ingin anak-anakku menanamkan rasa takut kepada makhluk yang sebenarnya lemah, apalagi menikmati cerita yang menormalisasi kesyirikan.
Sebagai orang tua, aku ingin menjauhkan mereka dari hal-hal yang berpotensi menodai akidah dan menggoyahkan keyakinan.
Alasan moral
Film horor, terutama yang berlabel 15+ atau 18+, sering kali menyelipkan adegan yang tidak sesuai dengan nilai moral: kekerasan, kriminal, bahkan sensualitas terselubung.
Bila anak di bawah umur menyaksikannya, bukan tidak mungkin rasa empati dan kepekaan sosial mereka terkikis perlahan. Alih-alih belajar belas kasih, mereka bisa terbiasa melihat kekerasan sebagai hiburan. Padahal apa yang sering dilihat anak akan membentuk selera, imajinasi, dan cara berpikirnya.
Aku tentunya lebih memilih memberikan tontonan yang sesuai usia dan menumbuhkan rasa bahagia, bukan takut.
Di luar rumah, kendali itu terbatas
Aku menjelaskan semua alasan di atas setiap kali anak-anakku meminta izin untuk menonton horor.
Tapi aku tahu, mendengar cerita “seru” dari teman-temannya tentu membuat mereka penasaran. Dan ya, mereka pernah diam-diam menonton cuplikan film tanpa izin dan sepengetahuanku.
Aku sadar, seketat apa pun penjagaan di rumah, dunia di luar sana tetap penuh pintu yang bisa terbuka tanpa izin.
Anak bisa diajak menonton hal yang tak pernah aku izinkan, mendengar hal yang tak ingin aku tanamkan, atau melihat sesuatu yang belum saatnya ia lihat.
Aku tidak bisa mengontrol semua itu. Yang bisa kulakukan hanya dua hal: mendoakan, dan menanamkan nilai sebelum ia melangkah keluar pintu.
Tanggung jawab orang tua
Aku percaya, dalam setiap hal yang dilakukan anak, ada tanggung jawab orang tua di baliknya.
Setiap anak adalah amanah dan anugerah yang harus dijaga orangtua. Kelak Allah lah yang akan bertanya, meminta pertanggung-jawaban atas amalan kita di dunia.
Tak ingin menyalahkan siapapun, namun fakta nyata bahwa apa yang anak bawa dan menjadi kebiasaan berupa kata, tontonan, hingga perilaku — adalah cerminan dari bagaimana mereka dibimbing di rumah.
Aku hanya ingin mengingatkan diriku sendiri (dan siapa pun yang membaca), bahwa menjaga anak bukan sekadar melarang, tapi membentengi hati mereka dari hal-hal yang menodai fitrahnya, menanamkan nilai agama dari dalam rumah, dan senantiasa memohon lindungan Allah di saat pandangan dan pendengaran kita tak mampu menjamah.
Wallahu a'lam.

Komentar
Posting Komentar