Imperfect
Aku bukan orang yang menuntut kesempurnaan. Namun bila sudah terlibat dalam suatu urusan, aku ingin memastikan segalanya berjalan sebaik mungkin. Dalam pekerjaan, dalam hidup, dalam babyak hal yang terlihat oleh mata.
Aku menyusun rencana, membuat inisiatif, memasang target, dan menentukan tenggat waktu. Aku sadar, kebiasaanku ini terkadang bisa membawa tekanan baik untukku atau bagi orang-orang yang bekerja bersamaku. Bagiku, pekerjaan adalah tentang totalitas, maksimalis, meski tak ada gading yang tak retak. Namun setidaknya dengan usaha keras, tak ada rasa bersalah yang menghantui.
Aku tak ingat sejak kapan aku begini, tapi mulai menyadarinya sejak SMA. Saat itu aku pertama kali punya proyek sendiri. Sederhana, tugas makalah dan ditanbah kegiatan sebagai anggota organisasi siswa.
Aku masih ingat bagaimana aku menulis hingga tengah malam, menyendiri di perpustakaan pesantren. Tak berhenti hingga aku betul-betul mengantuk. Saat diberi tugas mengerjakan sepuluh poin, aku membuat 20 poin. Pernah aku mengulang makalah 50 halaman yang sebenarnya sudah jadi, hanya karena menurutku tampilannya kurang proporsional.
Di organisasi siswa, aku memastikan mading yang kami buat tidak membosankan, meski tidak bisa dibilang estetik. Aku menginisiasi lomba karya ilmiah (yang belum pernah diadakan angkatan sebelumnya), karena aku tahu ada banyak calon penulis yang butuh wadah untuk menyalurkan bakatnya.
Aku juga pernah marah pada teman satu tim karena mengira aku tidak dilibatkan dalam proyek tertentu. Ia akhirnya meminta maaf dan mengirimiku “surat cinta” yang meluruskan semua kesalahpahaman itu. Aku yang saat itu begitu keras memang membutuhkan orang yang lembut sebagai penyeumbang.
Suatu hari aku mengisi kuisioner kepribadian di majalah dan baru tahu aku seorang pemikir. Yang kemudian aku tahu bahwa aku seorang melankolis yang idealis dan perfectsionis.
Apakah aku juara kelas? Tidak. Tapi apakah nilaiku baik? Ya. Setidaknya, sepadan dengan usaha yang kukerahkan saat itu.
Seiring waktu, hidup bersama suami yang santai dan memiliki anak-anak dengan kepribadian berbeda membuatku perlahan belajar menurunkan standar. Kubilang, aku butuh hidup bersama orang-orang yang slow living, jadi Allah mengirimkan mereka untukku.
Sebetulnya, aku merasa diuntungkan dengan perubahan itu. Aku sadar, sebagai makhluk sosial, aku tak bisa memaksa dunia berjalan seirama denganku. Jika terlalu ekstrem mempertahankan sifat bawaanku, aku bisa menekan atau tertekan, patah atau dipatahkan.
Meski kadang masih ada rasa frustasi saat sesuatu tak berjalan sesuai timeline yang kupasang, aku belajar menahan ego. Tidak semua orang punya ritme yang sama. Setiap kepala punya prioritas dan kepentingan berbeda. Belajar legowo, berhusnuzhan, dan tenang dalam bersikap.
Kian dewasa, aku memahami bahwa totalitas tidak selalu berarti kontrol penuh. Aku bisa memberi ruang bagi ketidakteraturan, sebagai proses belajar percaya pada orang lain, juga pada takdir Allah yang bekerja di balik rencana.
Aku tak harus berubah menjadi orang yang santai sepenuhnya, atau memakai topeng demi menyenangkan orang lain. Tapi aku bisa belajar berdamai dengan hasil yang tak selalu sesuai rencana.
Karena dalam setiap usaha yang tulus, selalu ada nilai yang tak diukur dengan pencapaian.

Komentar
Posting Komentar