Postingan

Mengapa Film Horror Terlarang di Rumahku?

Gambar
Suatu hari aku membaca chat di  grup Whatsapp anakku. Ada salah seorang teman yang menganjurkan anggota grup untuk menonton film horor tertentu. Mungkin film itu, menurutnya, seru dan ia ingin berbagi keseruan itu dengan teman-temannya agar obrolan di sekolah lebih bervariasi. Aku tidak ingin mengomentari kebijakan orang tua si anak yang mungkin membolehkan tontonan tersebut, meski rating usianya masih di bawah anjuran. Namun secara pribadi, aku memang sudah lama melarang anak-anakku menonton film horor atau konten apa pun yang berhubungan dengan itu dengan beberapa alasan Perkembangan psikologis dan otak anak Anak-anak belum bisa sepenuhnya membedakan antara imajinasi dan kenyataan. Audio, visualisasi, dan suasana mencekam dalam film bisa menempel kuat di memori mereka dan membayangi pikiran dalam waktu lama, bahkan menjelma menjadi khayalan dan mimpi buruk.  Jangankan film horor, anak balitaku yang menonton film anak rating 7+ dengan cerita sederhana pun bisa panik dan stre...

Air Hangat Tiap Pagi

Gambar
Tiap pagi sebelum anak berangkat sekolah, aku selalu menyiapkan air panas untuk mereka mandi. Meski kadang bangun kesiangan, air hangat tetap jadi rutinitas yang kuusahakan sepenuh hati. Awalnya, tak ada yang meminta. Niatku hanya menyiapkan hal kecil-namun istimewa- yang bisa menambah semangat anak-anak untuk bangun dan mandi tepat waktu. Di Bogor, suhu air pagi hari sering kali rendah, membuat siapa pun jiper untuk menyentuhnya. Water heater kerap jadi opsi yang muncul di kepala tiap kali aku menyalakan kompor. Andai punya, mungkin pagiku tak perlu sesibuk itu. Tapi untuk saat ini, karena memikirkan dana untuk pengadaan dan biaya listrik, aku memilih berfokus pada apa yang ada. Aku percaya, setiap gerak dan amal baik yang kuniatkan ikhlas insya Allah tak akan sia-sia. Kalau dipikir-pikir, sayang juga kalau pahala menyiapkan air hangat justru “diambil alih” oleh mesin. Ya... kalimat itu hanya usaha untuk menghibur diri. Wkwkwk.  Tujuanku tetap sama, aku ingin anak-anak merasakan...

Hujan

Gambar
Belakangan, cuaca tak menentu. Terkadang siang hari panas menyengat, kipas angin, alih-alih mendinginkan udara, justru terasa seperti meniupkan angin hair dryer . Lalu sore hingga malam, hujan mengguyur deras, kadang sampai membangunkanku dari tidur lelap. Konon, inilah musim pancaroba, masa peralihan. Saat imunitas tubuh diuji habis-habisan untuk beradaptasi dengan perubahan suhu dan cuaca yang tak menentu. Sebetulnya, aku lebih menyukai musim penghujan dibanding kemarau. Ada ketenangan dalam mendengar tetes hujan. Sebagaimana tanah yang basah, hatiku pun ikut terasa sejuk setiap kali mendengar rintiknya. Aku teringat masa kecil dulu betapa senangnya berangkat sekolah di bawah hujan. Naik motor sambil berlindung di balik mantel, atau berjalan bernaung payung bertelinga yang saat itu sedang tren. Tapi musim hujan di masa dewasa, dan karirku sebagai ibu rumah tangga, membawa keresahan yang berbeda. Aku sering deg-degan dengan beberapa bagian rumah yang bocor —khawatir anak-anak terpeles...

Rumah yang Kusebut Blog

Gambar
Kadang aku bertanya, dengan bermacam jenis media sosial yang ada, mengapa aku masih menulis di blog. Padahal di media sosial kemungkinan tulisanku dibaca lebih besar dibanding blogku,yang mayoritas tulisannya mengalir tanpa kata kunci, teknik SEO (Search Engine Optimization) dan sebagainya. Mungkin jawabannya adalah, bagiku blog bukan sekadar tempat menulis. Blog adalah rumah yang bisa membuatku merasa pulang, kembali menjadi diriku tanpa pencitraan. Tanpa takut dikomentari dan dihakimi.  Aku memulai perjalanan menulisku di buku diary. Dimulai saat kelas tiga SD. Saat itu aku menulis jurnal emosiku, menceritakan apa yang terjadi tiap hari, dan bahkan kadang aku membuat puisi. Saat diary book yang ada kuncinya mulai ngetren, aku tak pernah tak punya buku itu. Seperti sebuah item yang menjadi ciri khasku. Diary book milikku saat itu selalu kuisi dengan berbagai hal yang aku suka. Aku kadang jugamenulis jurnal refleksi di binder, yang kerap dipinjam dan dibaca oleh kawan-kawanku di pe...

Khadijah, Wanita yang Pertama Masuk Islam bag. 1

Aku tidak mengenal seorang perempuan pun, baik dari kalangan Arab maupun selainnya, yang memiliki ketajaman pandangan seperti Khadijah. Ia adalah perempuan yang cantik dan kaya raya. Setelah suaminya meninggal, banyak tokoh terkemuka Makkah yang ingin menikahinya. Namun dengan kecerdasannya, Khadijah mampu menilai dan memilah siapa lelaki yang benar-benar pantas di hatinya. Ia tidak mencari kemuliaan nasab atau harta, melainkan mengharapkan sosok suami yang memiliki akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur. Lalu Allah mempertemukannya dengan Muhammad bin Abdullah, pemuda yatim, miskin harta namun kaya akan akhlak. Ia dikenal di kalangan Quraisy dengan sebutan Al-Amīn, yang terpercaya. Suatu hari, Muhammad berangkat bersama kafilah dagang menuju negeri Syam. Ia dipercaya untuk membawa dan mengelola harta milik Khadijah. Bersamanya turut seorang budak Khadijah bernama Maisarah. Selama perjalanan, Maisarah menyaksikan betapa mulia akhlak Muhammad, sesuatu yang belum pernah ia lihat pada l...

Imperfect

Gambar
Aku bukan orang yang menuntut kesempurnaan. Namun bila sudah terlibat dalam suatu urusan, aku ingin memastikan segalanya berjalan sebaik mungkin. Dalam pekerjaan, dalam hidup, dalam babyak hal yang terlihat oleh mata.  Aku menyusun rencana, membuat inisiatif, memasang target, dan menentukan tenggat waktu. Aku sadar, kebiasaanku ini terkadang bisa membawa tekanan baik untukku atau bagi orang-orang yang bekerja bersamaku. Bagiku, pekerjaan adalah tentang totalitas, maksimalis, meski tak ada gading yang tak retak. Namun setidaknya dengan usaha keras, tak ada rasa bersalah yang menghantui.  Aku tak ingat sejak kapan aku begini, tapi mulai menyadarinya sejak SMA. Saat itu aku pertama kali punya proyek sendiri. Sederhana, tugas makalah dan ditanbah kegiatan sebagai anggota organisasi siswa. Aku masih ingat bagaimana aku menulis hingga tengah malam, menyendiri di perpustakaan pesantren. Tak berhenti hingga aku betul-betul mengantuk. Saat diberi tugas mengerjakan sepuluh poin, aku mem...

Titik Nol

Gambar
Beberapa waktu lalu, aku menatap sudut rumah yang penuh barang, lalu berpikir, “Kapan ya aku punya ruang kerja yang tenang dan estetik biar semangat nulis? Meja yang menghadap jendela, dengan pemandangan indah yang membuat ide memenuhi kepala.” Tapi hari itu, aku sadar sesuatu, mungkin bukan ruangnya yang perlu berubah, tapi caraku memulai. Banyak orang ragu melakukan sesuatu karena merasa belum cukup ideal. Padahal, yang seharusnya dilakukan adalah memulai dengan apa yang sudah dimiliki. Ingin mealprep , rasanya kurang afdol tanpa storage minimalis yang seragam. Ingin jogging , tapi belum punya treadmill . Ingin menulis jurnal, tapi merasa tak bisa seindah milik konten kreator di dunia maya. Ingin memasak, tapi merasa dapur belum cukup estetik untuk menumbuhkan semangat. Padahal, memulai dengan apa yang ada justru cara paling nyata untuk mensyukuri yang sudah ada. Mulailah dengan tangan kosong, tapi niat penuh di hati. Itu bentuk syukur yang bisa membuat hidup terasa lebih berarti. M...