Postingan

Review: All Creatures Great and Small by James Herriot

Gambar
Judul: All Creatures Great and Small Judul terjemahan: Segala Makhluk Besar dan Kecil Pengarang: James Herriot Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Bahasa: Indonesia (terjemahan) Genre: Memoar / Fiksi autobiografis Pertama kali membaca nama James Herriot adalah saat aku membaca buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Bahasa Andrea dalam buku-bukunya begitu indah dan memesona. Aku seperti tersedot ke dalam lembaran kertas, terhipnotis oleh diksi dan narasi yang diciptakannya. Mendengar nama Herriot sebagai penulis yang menginspirasinya, aku jadi mengira-ngira, pasti sang inspirator punya bahasa tulisan yang sama romantisnya. Apalagi saat membaca buku Edensor karya Andrea, rasa penasaranku pada buku-buku Herriot semakin besar. Saat aku telah memiliki dua anak, barulah aku benar-benar punya waktu untuk membaca buku Herriot. Dan sesuai ekspektasiku, ia memang mampu membawaku berpindah dari padatnya kesibukan sehari-hari ke dunia lain yang begitu tenang dan indah. Aku sendiri bukan pecinta ...

Privilege

Privilege , kata yang tidak asing bagi kebanyakan dari kita. Sekilas, privilege terdengar seperti hidup mewah tanpa kesulitan. Orang dengan privilege seakan jalannya selalu mulus dan semua kebutuhannya terpenuhi tanpa kerja keras. Setidaknya, itu gambaran awal yang dulu aku pahami.  Ternyata, privilege jauh lebih luas dari sekadar harta dan kemewahan. Privilege adalah keistimewaan atau kemudahan bawaan yang tidak dipilih seseorang sejak lahir. Tak ada yang bisa memilih lahir di lingkungan seperti apa, dalam kondisi apa, dengan watak seperti apa, dan modal alamiah apa yang diwarisi dari orangtuanya. Aku belakangan belajar, privilege bentuknya sangat umum. Kecerdasan adalah modal bawaan yang membuat seseorang lebih cepat belajar. Tidak heran anak yang punya privilege ini cenderung mencatat prestasi di sekolah, dikagumi dan dipuji. Betapa banyak murid yang sebetulnya belajar keras, namun hasilnya tidak sebaik si cerdas. Kecantikan juga privilege . Kita pun tahu istilah beauty ...

Membangun Negeri Dari Rumah Bag.2

Sebagai lanjutan dari tulisan kemarin tentang membangun negri dari rumah, hari ini aku ingin membahas nilai-nilai lain yang rasanya makin relevan untuk ditanamkan pada anak-anak kita. Nilai-nilai sederhana yang berasal dari keresahan hati seorang anak bangsa, anak yang sudah menjadi ibu dan merasa punya tanggung jawab besar.  3. Berwawasan dan Berpikir Kritis Mendengar seorang pemimpin berkata di hadapan publik, “sawit kan juga pohon, ada daunnya, bisa menyaring karbon dioksida,” atau “sawit adalah karunia, bisa dijadikan bahan bakar bla bla bla,” "kota akan mencabut ozin tambang-tambang ilegal," tawaku sering terpancing. Tawa pahit, tentu saja. Rasanya seperti menonton stand up comedy , hanya saja yang ditertawakan adalah akal sehat kita bersama. Yang lebih membuat miris adalah para audiens yang konon cerdas, hanya mengangguk mengiyakan pernyataan yang jelas-jelas keliru. Seperti kerbau dicucuk hidungnya.  Dari situ aku makin sadar bahwa anak-anak perlu dibesarkan dengan wa...

Membangun Negeri Dari Rumah

Akhir-akhir ini, media sosial dipenuhi kritik terhadap para pemangku kebijakan yang dinilai kurang peka dan minim empati terkait musibah banjir bandang di Aceh dan Sumatera. Ucapan-ucapan publik yang terdengar meremehkan justru melukai hati rakyat. Yang tak terdampak saja bisa ikut tersinggung, apalagi mereka yang sedang berjuang menyelamatkan hidup. Mulai dari komentar bahwa “situasinya hanya mencekam di media sosial,” pernyataan bahwa penanganan akan dilakukan “nanti setelah kering,” hingga pembelaan terhadap deforestasi dan kayu hanyut, semuanya terasa jauh dari realitas penderitaan korban. Sementara warga, influencer dan relawan bergerak cepat, aksi mereka malah diremehkan. Dianggap pesaing dan "si paling-paling". Di tengah bencana seperti ini, rakyat butuh kepemimpinan yang hadir, bukan narasi yang menyakitkan dan pernyataan yang seolah keluar tanpa disaring.  Tiap melihat hal-hal seperti itu, aku sebagai masyarakat biasa sering merasa kecil, tidak punya peran besar untu...

Nol Ekspektasi

Umur bertambah, hidup makin sibuk, dan hati yang sedang sensitif mengajariku untuk mengosongkan ekspektasi. Manusia dewasa memiliki ekspektasi yang tertanam dalam hati. Mungkin karena ia punya pengalaman, standar tertentu, usaha, dan beban tanggung jawab. Karena itulah ia berharap apa yang ia lakukan mendapat hal yang sepadan. Itulah ekspektasi. Dan orang-orang seperti diriku, yang sedikit perfeksionis, pemikir, dan perencana, hampir mustahil tidak berekspektasi pada apa pun. Pola pikirku terbiasa membayangkan alur, menyiapkan solusi, menata rencana. Secara otomatis, batinku ikut menaruh harapan pada cara sesuatu seharusnya berjalan. Ekspektasi membuat seseorang merasa aman, merasa dipahami, dan merasa bahwa skenario pribadinya akan berjalan seperti yang ia bayangkan, dari hal sederhana hingga hal yang levelnya tinggi. Aku pernah membuat sebuah komunitas baca dengan target membaca setiap hari selama 100 hari. Tidak memaksa siapapun untuk bergabung, namun banyak yang mendaftar. Melihat ...

Perjalanan Panjang Bag 8

Hamil dengan anak-anak yang sudah mulai sekolah membuat pilihanku sangat terbatas soal tempat melahirkan. Targetku sederhana saja: mencari rumah sakit yang paling dekat, proses lahiran yang paling mudah, dan menginap di rumah sakit sesingkat mungkin. Pulang ke Semarang sama sekali gak bisa menjadi pilihan saat ini, mengingat anak-anak harus bersekolah, sementara suamiku dengan kegiatannya yang war wer wor , tidak memungkinkan mengurus dua anak sendirian sambil bekerja.  Sebagai ikhtiarku agar semuanya aman, aku banyak belajar teknik. Mulai dari cara menurunkan bayi ke panggul, teknik napas untuk menghadapi kontraksi... Baik dari podcast dan mendaftar kelas hypnobirthing. Aku paham dirimu mudah overthinking , jadi perlu sedikit belajar untuk rileks. Rasanya seperti mempersenjatai diri pelan-pelan, supaya ketika waktunya tiba, aku lebih siap. Kebetulan HPL-ku kali ini jatuh di momen yang super rame: antara akhir Desember sampai awal Januari. Anak-anak masih ujian dan class meeti...

Mengasihani Diri

Pernahkah pembaca suatu hari memikirkan, “malangnya aku, kasihannya aku”? Mungkin saat tubuh lelah, pikiran penuh, merasa sendirian, banyak beban, butuh pertolongan, atau ketika perasaan terlalu lama tidak tervalidasi. Kadang aku mengalaminya. Kemarahan dan kekecewaan yang kutahu bisa memicu semuanya. Kadang aku berpikir, rasanya aku sudah berusaha sekuat mungkin--bersabar, berjuang, mencoba memahami-- tapi tetap saja seperti gagal. Ada kalanya aku ingin rehat sejenak, menjauh dari hiruk-pikuk rumah, meletakkan beban, dan membiarkan tubuh ini rileks. Menyendiri dan membiarkan diriku berdamai dengan amarahku.  Tapi aku tahu itu hampir mustahil. Anak-anak datang dengan cerita remeh yang dibawakan seolah dunia runtuh, meributkan hal-hal kecil yang bagiku tak begitu penting. Namun saat aku ingin menyingkir, aku sadar mereka tak punya tempat lain untuk bercerita, berekspresi, dan diterima, selain oleh ibunya. Meski enggan, aku tahu mereka membutuhkan tanggapan. Dan entah bagaimana, lagi...