Nol Ekspektasi

Umur bertambah, hidup makin sibuk, dan hati yang sedang sensitif mengajariku untuk mengosongkan ekspektasi.

Manusia dewasa memiliki ekspektasi yang tertanam dalam hati. Mungkin karena ia punya pengalaman, standar tertentu, usaha, dan beban tanggung jawab. Karena itulah ia berharap apa yang ia lakukan mendapat hal yang sepadan. Itulah ekspektasi.

Dan orang-orang seperti diriku, yang sedikit perfeksionis, pemikir, dan perencana, hampir mustahil tidak berekspektasi pada apa pun. Pola pikirku terbiasa membayangkan alur, menyiapkan solusi, menata rencana. Secara otomatis, batinku ikut menaruh harapan pada cara sesuatu seharusnya berjalan.

Ekspektasi membuat seseorang merasa aman, merasa dipahami, dan merasa bahwa skenario pribadinya akan berjalan seperti yang ia bayangkan, dari hal sederhana hingga hal yang levelnya tinggi.

Aku pernah membuat sebuah komunitas baca dengan target membaca setiap hari selama 100 hari. Tidak memaksa siapapun untuk bergabung, namun banyak yang mendaftar. Melihat antusias itu, tentu aku mengira mereka akan bersemangat. Alangkah kecewanya saat program berjalan, hanya sebagian kecil yang benar-benar menjalankan. Bahkan ketika tantangan selesai, hampir tak ada yang tergerak sekadar mengucapkan terima kasih atas wadah yang sudah kubuat untuk membantu mereka membangun kebiasaan baru.

Beberapa yang mengucap kata ajaib itu hanya peserta yang mendapat hadiah apresiasi, dan jumlahnya bisa dihitung jari.

Dibilang tidak ikhlas, tidak juga. Aku ikhlas. Aku tidak mengambil biaya sepeser pun. Aku melakukan riset, observasi, menata program agar tiap tahun kian rapi. Aku bahagia melakukannya. Namun tetap saja, tidak kusangka sekadar ucapan terima kasih atau sepotong doa pun tak kudapat dari peserta.

Itu baru satu contoh.

Lain halnya di rumah. Ekspektasi pada suami yang berjanji membenahi kerusakan rumah. Ekspektasi pada anak yang kupikir akan langsung bangun ketika kuminta tolong. Dua-duanya sering berakhir menjadi pemicu kecewa.

Yang ada, suami menunda hingga berbulan-bulan.

Yang ada, anak mengeluh dan enggan melakukan apa yang kuminta.

Atau saat aku menjelaskan suatu permasalahan pada seorang dewasa. Berharap ia paham POV-ku, berharap ia bisa mengerti dan bekerja sama. Namun esoknya ia kembali kosong, seolah tak menyimak apa pun yang kusampaikan. Aku harus mengulangi lagi dan lagi, dengan hati yang makin panas.

Ada pula saat aku menulis sebuah tulisan dengan penuh jiwa dan perenungan, berharap orang-orang tercerahkan. Nyatanya, tak ada yang membaca blogku kecuali dua atau tiga orang, yang entah memang ingin membaca atau hanya memencet link tak sengaja.

Dalam banyak kejadian hidupku, aku belajar untuk mengenolkan ekspektasi. Terutama pada makhluk bernama manusia.

Nol ekspektasi bukan berhenti berharap, bukan hidup tanpa gairah. Nol ekspektasi adalah meletakkan harapan di tempat yang benar, dan mengendalikan diri ketika yang terjadi tidak sesuai. Tetap baik meski tidak dibalas. Tetap menyayangi meski merasa diabaikan.

Aku menyadari bahwa realita adalah variabel yang tak bisa dikontrol. Sedang ekspektasi adalah ego dan fantasi. Kesenjangan di antara keduanya adalah lokasi rawan luka hati.

Saat belajar mengenolkan ekspektasi, aku merasa jiwaku lebih ringan. Tindakanku lebih tulus. Interaksiku dengan manusia lebih nyaman tanpa nilai tukar. Aku melakukan apa yang ingin kulakukan, dan tidak melakukan apa yang tidak ingin kulakukan. Aku membela apa yang kuanggap benar, dan meninggalkan yang tidak. Rasanya seperti nothing to lose.

Aku masih belajar. Masih memahami bahwa nol ekspektasi bukan sikap dingin atau acuh. Ini adalah versi dewasa dari hati yang ingin tetap hidup, tetap lembut, tapi tidak ingin patah hanya karena perilaku manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Kata-Kata Bahasa Arab Sedih dan Artinya [+Gambar]

Renungan Anak Santri

35 Quotes About Love dan Artinya