Mengasihani Diri
Pernahkah pembaca suatu hari memikirkan, “malangnya aku, kasihannya aku”?
Mungkin saat tubuh lelah, pikiran penuh, merasa sendirian, banyak beban, butuh pertolongan, atau ketika perasaan terlalu lama tidak tervalidasi.
Kadang aku mengalaminya. Kemarahan dan kekecewaan yang kutahu bisa memicu semuanya.
Kadang aku berpikir, rasanya aku sudah berusaha sekuat mungkin--bersabar, berjuang, mencoba memahami-- tapi tetap saja seperti gagal.
Ada kalanya aku ingin rehat sejenak, menjauh dari hiruk-pikuk rumah, meletakkan beban, dan membiarkan tubuh ini rileks. Menyendiri dan membiarkan diriku berdamai dengan amarahku.
Tapi aku tahu itu hampir mustahil. Anak-anak datang dengan cerita remeh yang dibawakan seolah dunia runtuh, meributkan hal-hal kecil yang bagiku tak begitu penting.
Namun saat aku ingin menyingkir, aku sadar mereka tak punya tempat lain untuk bercerita, berekspresi, dan diterima, selain oleh ibunya.
Meski enggan, aku tahu mereka membutuhkan tanggapan. Dan entah bagaimana, lagi-lagi kebutuhanku sendiri kembali tersisihkan. Aku harus kembali hadir, mengesampingkan segala ego dan hati yang terabaikan.
Menjadi ibu tak pernah terasa mudah bagiku. Ada rasa bersalah yang kadang datang dari luar, kadang dari dalam diriku sendiri. Ada kepedulian yang optimis namun juga menyakitkan. Ada kesadaran akan kekuranganku, dan kecemasan bahwa anak-anakku harus menerimanya.
Semakin bertambah usia, aku makin mengasihani diriku di masa lalu yang memendam trauma, yang perasaannya tak pernah tervalidasi, yang menyembunyikan luka amat dalam di balik kalimat “aku baik-baik saja”, yang kadang harus memasang bendera netral agar bisa menengahi, memakai topeng setebal beton agar isi hatiku tertutupi.
Dan kini, perasaan itu seolah ikut terbawa ke dalam hidup setelah menikah dan memiliki anak. Rasa bersalah itu perlahan tapi pasti, berubah menjadi ketakutan—takut anak-anakku merasakan hal yang sama. Takut mengulang pola sakit yang tak sengaja kubawa. Takut menjadi penyebab luka yang tak pernah kumaksudkan. Bagaimana seseorang bisa hidup sambil menggendong rasa bersalah sebesar itu? Rasanya berat namun aku sudah menempuh terlalu jauh.
Kadang aku mengasihani diriku yang terlihat lemah, sensitif, mudah kecewa, dan mudah menangis... Namun sebenarnya, yang lebih membuatku iba adalah diriku yang selalu berusaha tampak kuat, padahal hatinya sangat rentan.
Ada rasa yang ingin divalidasi dan diakui bahwa aku manusia. Aku ingin sesekali didengar tanpa dinilai, dikasihani, atau dibandingkan. Tapi di saat yang sama, aku takut terlihat cengeng. Takut dianggap terlalu sensitif. Takut orang melihatku rapuh, padahal selama ini aku berusaha keras menjaga agar diriku tetap terlihat tegar.
Dan itulah tarik-ulurnya: ingin jujur, tapi takut dikira apa. Ingin dimengerti, tapi takut dianggap menye-menye. Ada kebutuhan untuk dipeluk, namun tangan sendiri yang menampik pelukan yang datang. Seolah-olah menjadi manusia biasa adalah kemewahan yang tidak selalu bisa kumiliki. Apakah cangkang tebal ini harus selalu kukenakan?
Aku mengasihani diriku sendiri: yang sudah berusaha namun selalu tampak gagal, yang sudah naik namun kembali terperosok ke lubang yang sama. Yang mencoba bertahan tapi tetap merasa kalah.
Lalu aku bertanya pada pembaca, apa yang kalian lakukan ketika merasa kasihan pada diri sendiri? Apakah ini menurutmu adalah sebuah dosa? Apakah ini perasaan yang harusnya tak ada dalam diri manusia?
Aku tahu, hidupku, dan kita semua, sudah ada suratan takdirnya sejak lama. Lima puluh ribu tahun sebelum langit dan bumi ada. Kita menjalani jalan yang ditetapkan-Nya.
Namun di tengah semua itu, aku tetap bertanya:
apakah seharusnya aku berusaha lebih keras dan berhenti mengasihani diri sendiri?
Komentar
Posting Komentar