Perjalanan Panjang Bag.7
Makin ke sini, Alhamdulillah aku merasa semakin prima. Aku mulai bisa masak lagi, menikmati menu favoritku, dan berolahraga seperti biasa. Olahraga yang paling sering kulakukan sejak sebelum hamil adalah berjalan. Kali ini aku mencoba menambah kecepatan langkah, karena menurut video podcast yang kutonton, berjalan cepat dapat menggerakkan panggul dan membuat ototnya lebih fleksibel.
Podcast? Iya, kemajuan teknologi membuatku bisa belajar banyak hal. Menyimak ilmu dari bidan ternama dan dokter spesialis yang kompeten secara gratis, tanpa perlu mendatangi mereka satu per satu.
Di channel podcast Nikitta Willy, saat mengundang Bidan Mila, di situlah pertama kali aku mendengar tentang hypnobirthing. Aku makin penasaran dan mencari tahu lebih banyak tentang metode itu. Di kehamilan kelimaku ini, sejak awal aku sudah merencanakan untuk melahirkan pervaginam, jadi rasanya aku jauh lebih siap untuk belajar.
Berbeda dengan ketika aku akan melahirkan Romi. Awalnya aku pasrah saja dengan keputusan dokter untuk melahirkan sesar (karena memang sulit menemukan dokter pro-VBAC yang jaraknya terjangkau dari rumah). Namun secara mendadak Allah takdirkan aku pulang ke Semarang dan memutuskan mencoba persalinan pervaginam di bulan ke-8. Saat itu aku hanya fokus pada metode PAZ Maryam yang direkomendasikan dokternya. Saking clueless dan kehabisan waktu, aku tidak sempat belajar teknik mengejan—yang kemudian “menghadiahiku” robekan panjang di perineum. Qadarullah, manusia memang tidak boleh berhenti belajar, dan pengalaman adalah cambuk yang menyadarkan kita.
Di trimester kedua ini, di luar jadwal olahragaku, aku biasanya berjalan keluar rumah untuk menjemput Romi sepulang sekolah. Padahal jarak rumah dan sekolah hanya dua menit berjalan kaki, dan Romi pun sangat familiar dengan lokasinya. Namun anak bungsuku itu meminta untuk dijemput setiap hari dengan alasan “ingin saja”. Selagi bisa kuturuti, kenapa tidak? Aku justru senang melihatnya begitu excited saat melihatku datang. Kadang Umar dan Jihan juga ikut menyapa ketika melihatku di sekolah. Aku bisa berjemur sebentar di bawah matahari, ngobrol santai dengan ibu-ibu lain, atau berbincang dengan guru-guru—rasanya seperti hiburan kecil di tengah aktivitasku yang banyak kuhabiskan di dalam rumah.
Aku mulai bertekad untuk mendaftar lagi program KLIP (Kelas Literasi Ibu Profesional) sesi tiga, setelah sebelumnya di trimester pertama aku gagal menyelesaikan tantangannya—mual sepanjang hari membuatku malas untuk sekadar berlama-lama memikirkan kata dan diksi. Saat itu aku juga berpartisipasi membantu temanku dalam project-nya, jadi aku cukup sibuk dengan beberapa tugas tambahan, belum lagi tugas perkuliahan online-ku di HSI Akademi. Namun dengan kesehatanku yang semakin membaik, aku justru merasa enjoy mengerjakan semuanya. Bukankah trimester kedua memang waktu terbaik untuk kembali menjalani hari-hari dengan ritme yang lebih normal?
Yang membuat semuanya terasa lebih ringan adalah kesadaran bahwa aku tidak menjalaninya sendirian. Ada suami yang berusaha memahami, anak-anak yang menunggu di gerbang sekolah, tugas-tugas kecil yang membuatku merasa hidup, dan semangat baru yang tumbuh seiring tubuhku kembali kuat.
Kalau trimester pertama adalah fase bertahan hidup, maka trimester kedua ini rasanya seperti fase kembali menjadi diriku—versi yang lebih pelan, lebih sadar, dan lebih menghargai hal-hal sederhana. Semoga sisa perjalanan ini tetap diberi kelancaran, kesehatan, dan ketenangan.

Komentar
Posting Komentar