Perjalanan Panjang Bag.5

Kurang lebih satu bulan setelah berjuang dengan kondisi mabokku, tibalah waktunya anak-anak kembali ke sekolah setelah libur panjang. Saat itu aku berada di transisi trimester pertama ke kedua. 

Jihan naik kelas lima, Umar kelas tiga, dan Romi resmi masuk TK A.

Aku menyadari bahwa sudah saatnya aku bangkit. Agak memaksakan diri memang, tapi aku tahu anak-anak membutuhkanku untuk menyiapkan bekal serta mengurus pakaian sekolah mereka.

Setiap pagi aku memasak bekal sederhana: nasi goreng memakai bumbu siap pakai, goreng-gorengan, atau sekadar roti, pokoknya segala masih bisa kuhandle.

Membangunkan anak juga berubah. Yang biasanya dua, sekarang tiga. Menyiapkan air panas untuk mandi, mengurus menu sarapan, dan mengkomandoi mereka memakai baju, minyak telon, deodoran (untuk yang besar), sampai menyiapkan uang saku.

Sebenarnya aku excited melihat Romi akhirnya mulai sekolah. Melihatnya mengenakan seragam, baju koko rapi, tas dan sepatu kecilnya, rasanya seperti tanda bahwa memang sudah waktunya ia punya adik yang siap menggantikan posisinya menemani aku di rumah. Haha.

Semua terasa lancar saja di pekan pertama. Hingga suatu hari, di pekan kedua sekolah… kaki Umar tiba-tiba sakit. Jalannya pincang. Semakin lama semakin parah.

Sebelumnya, di tahun 2023, ia pernah mengalami hal serupa: kakinya panjang sebelah. Tapi ada kejadian unik waktu itu, saat tiba di RS, ia mendadak bisa berjalan normal. Rontgen di dokter ortopedi pun menunjukkan semuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah apa pun.

Yang aku sesali adalah, aku dan suami langsung merasa lega. Alih-alih mencari second opinion, kami menganggap itu hanya dislokasi sendi yang kembali pada tempatnya secara ajaib. Selama dua tahun kami tidak sadar bahwa kaki Umar sebenarnya belum pulih sepenuhnya. Kelalaian dan kenaifan kami sebagai orang tua, juga Umar yang mungkin tidak merasa atau mungkin takut jujur tentang kondisinya.

Hari itu, kakinya kembali pincang. Dislokasinya—menurut mata awamku—terlihat semakin parah. Umar pun harus belajar dari rumah karena tidak memungkinkan berjalan ke sekolah. Dan tentu hatinya minder dengan kondisinya saat itu. Kami menunggu sekitar seminggu sebelum membawanya kembali ke dokter ortopedi.

Berminggu-minggu Umar di rumah dalam masa pemulihan. Karena fisiknya tidak sakit selain kakinya, ia tetap harus belajar dan mengerjakan soal. Dan tebak siapa yang menjadi gurunya? Ya, aku.

Umar tipe anak yang kadang suka membuat drama saat belajar. Ketika tidak mood—apalagi belajar sendirian, tidak bersama teman-teman sekolah—ia akan rewel dan mencari-cari alasan agar bisa “libur”.

Sementara aku menginginkan ia belajar tepat waktu agar tugasnya tidak menumpuk.

Kebayang kan, bagaimana keributan kecil yang meletup hampir setiap hari di rumah karena perbedaan preferensi kami… sekaligus kesamaan watak kami yang sama-sama tidak mau mengalah?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Kata-Kata Bahasa Arab Sedih dan Artinya [+Gambar]

Renungan Anak Santri

35 Quotes About Love dan Artinya