Membangun Negeri Dari Rumah

Akhir-akhir ini, media sosial dipenuhi kritik terhadap para pemangku kebijakan yang dinilai kurang peka dan minim empati terkait musibah banjir bandang di Aceh dan Sumatera. Ucapan-ucapan publik yang terdengar meremehkan justru melukai hati rakyat. Yang tak terdampak saja bisa ikut tersinggung, apalagi mereka yang sedang berjuang menyelamatkan hidup.

Mulai dari komentar bahwa “situasinya hanya mencekam di media sosial,” pernyataan bahwa penanganan akan dilakukan “nanti setelah kering,” hingga pembelaan terhadap deforestasi dan kayu hanyut, semuanya terasa jauh dari realitas penderitaan korban. Sementara warga, influencer dan relawan bergerak cepat, aksi mereka malah diremehkan. Dianggap pesaing dan "si paling-paling".

Di tengah bencana seperti ini, rakyat butuh kepemimpinan yang hadir, bukan narasi yang menyakitkan dan pernyataan yang seolah keluar tanpa disaring. 

Tiap melihat hal-hal seperti itu, aku sebagai masyarakat biasa sering merasa kecil, tidak punya peran besar untuk mengubah keadaan. Tapi setiap kali seorang pejabat berucap dengan nada yang tone deaf, aku jadi merefleksikan diri. Benar, mungkin aku tidak bisa mengubah negara hari ini. Aku hanya ibu-ibu berdaster yang tidak punya platform besar, suaraku tidak terlalu lantang, dan ilmuku sangat terbatas. Tapi aku masih punya satu wilayah kecil yang bisa kubentuk setiap hari.

Rumah.

Satu-satunya tempat di mana aku punya kuasa, kendali, dan kesempatan menanamkan nilai yang kelak, siapa tahu, menjadi benih pemimpin masa depan. Kalau negeri ini kerap membuat kita kecewa, maka tanggung jawab kita sebagai orang tua adalah memastikan anak-anak kita tidak tumbuh menjadi seperti mereka yang tingkahnya membuat kita mengelus dada.

1. Empati

Anak-anak perlu dibesarkan dengan empati yang utuh.

Empati bukan sekadar kasihan, tapi kemampuan menyadari bahwa perasaan orang lain sama berharganya seperti perasaan kita.

Di rumah, kami mulai dari hal-hal kecil, membantu pekerjaan orang tua agar merasakan prosesnya, menghibur teman yang sedih, menolong saudara yang kesusahan, dan belajar tidak meremehkan perasaan orang lain.

Perasaan orang lain, bagaimanapun itu adalah valid. Hak yang boleh dirasakan setiap jiwa. 

Sesekali, aku memperlihatkan kondisi memprihatinkan yang terjadi di luar sana. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menggerakkan hati mereka. Mengajak anak menyumbang sebagian kecil dari uang jajan membuat empati itu berubah menjadi tindakan, bukan teori belaka.

Karena aku tahu, empati yang tumbuh sejak kecil akan membuat mereka menjadi orang dewasa yang tidak mudah meremehkan penderitaan manusia lain. Tidak musti merasakan penderitaan untuk belajar bagaimana tidak enaknya berada dalam kesulitan. 

Di rumah, empati adalah pondasi. Di pemerintahan, empati seharusnya menjadi standar yang dimiliki mereka yang mencicipi jabatan tinggi.

2. Tanggung jawab

Nilai berikutnya yang ingin kutanamkan adalah tanggung jawab. Siapa yang menumpahkan air harus mengelap. Yang merusakkan barang harus mengganti. Yang mengotori membersihkan. Yang salah harus berani meminta maaf baik sengaja atau tidak.

Suatu hari, anakku merusakkan meja lipat temannya saat ia berkunjung ke rumahnya. Orang tuanya menghubungiku beberapa hari kemudian. Mereka tidak menuntut srcara langsung, tapi aku tahu maksudnya. Saat aku menkonfirmasi ke anakku, ia bilang itu “tidak sengaja.” Aku ajari dia bahwa ketidaksengajaan tidak membatalkan tanggung jawab. Konsekuensinya, ia harus mengganti meja itu dari uang tabungannya.

Aku tahu itu berat untuknya, harga meja itu seratus ribu lebih. Butuh berapa lama baginya hingga sejumlah itu terkumpul. Tapi itu pelajaran seumur hidup baginya--dan saudara-saudara nya secara tidak langsung.

Untuk membayar rasa tidak tegaku, diam-diam aku memasukkan kembali uang dengan jumlah yang sama ke celengannya. Mungkin ia tidak menyadarinya sampai saat ini, tapi suatu saat ia kian dewasa, akan kuceritakan padanya kenyataaan yang sebenarnya. 

Saat ia mengantar meja baru ke rumah temannya, wajahnya tampak lega dan bangga. Namun tak kuduga, orangtua temannya malah bilang meja itu tidak perlu diganti, sudah diikhlaskan. Tapi aku berkeras. Bukan soal harga mejanya, tapi nilai yang sedang kubangun di jiwa anak-anakku.

Kalau meja itu ia bawa pulang kembali, maka pelajaran tanggung jawab juga ikut kembali, luntur tanpa arti. Nilainya hilang, dan harga yang dibayar anakku dengan uang dan tangisnya tak ada gunanya. 

Aku berharap kelak, ketika dewasa, anak-anakku bisa berdiri tegak dan berkata, “saya salah. Saya akan memperbaiki.”

Bukan defensif. Bukan menyalahkan cuaca, keadaan, atau apapun yang bisa dijadikan kambing hitam seperti yang sering kita lihat di layar kaca.

Aku percaya, perubahan besar sering lahir dari ruang-ruang kecil. 

Jika para pejabat hari ini membuat kita kecewa, semoga anak-anak kita kelak tumbuh menjadi orang-orang yang membuat negeri ini kembali dipercaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Kata-Kata Bahasa Arab Sedih dan Artinya [+Gambar]

Renungan Anak Santri

35 Quotes About Love dan Artinya