Perjalanan Panjang Bag.2
Di tengah ngidam yang berat pada trimester pertama, aku mulai mencari dokter yang kira-kira cocok untuk mendampingiku melahirkan nanti. Baru kusadari, jumlah dokter obgyn perempuan di rumah sakit sekitar sini sangat sedikit. Rumah Sakit Islam pun tidak ada yang dekat dengan rumahku. Berbeda sekali dengan di Semarang, jarak dari rumah orang tuaku ke RSI R hanya sekitar setengah jam, dan pilihan dokternya banyak.
Aku sempat mencoba periksa ke salah satu rumah sakit swasta terdekat, sebut saja RS P. Ini adalah pertama kalinya aku periksa ke RS ini dan bertemu dengan dr. W. Beliau dokter yang baik, pembawaannya mengingatkanku pada dr. P di RS R Semarang--dokter yang membantuku melahirkan Romi. Tipe dokter yang tidak banyak bicara kalau tidak ditanya, tapi akan menjawab dengan sabar dan menunggu pertanyaan pasien sampai tuntas. Yang bikin aku lumayan takjub, dr. W bahkan mencatat satu per satu nama dokter yang menangani persalinanku sebelumnya. Selama empat kehamilan sebelumnya, belum ada dokter yang bertanya sedetail itu.
Namun jujur saja, aku terkejut waktu mengetahui biayanya. Sekali periksa, dua lembar USG, ditambah dua jenis suplemen, totalnya sekitar 750 ribu rupiah. Angka yang terasa cukup berat bagiku jika musti keluar dari kantong tiap bulan. Suami bilang tidak apa-apa, masih bisa diusahakan, tapi di kepalaku langsung muncul banyak hal lain yang perlu kami persiapkan. Kalau ada opsi untuk menghemat, kenapa tidak?
Catatan tambahan: untuk saat ini, aturan pemerintah menetapkan bahwa rujukan BPJS tidak bisa dipakai langsung di rumah sakit, kecuali ada diagnosa atau penyulit tertentu. Jadi layanan BPJS dengan gratis hanya bisa dilakukan di puskesmas.
Dari situ aku mulai bertanya pada tetangga dan teman-teman tentang pengalaman melahirkan di rumah sakit sekitar sini. Setelah mempertimbangkan semuanya, akhirnya aku memutuskan untuk kembali periksa ke RS H. Agak jauh, namun rumah sakit itu punya banyak jejak dalam hidupku: tempat aku melahirkan Jihan, menjalani kuretase saat kehamilan ketigaku tidak bertahan, dan tempat kontrol bulanan Romi sebelum akhirnya aku memutuskan pulang ke Semarang untuk melahirkan.
Dokter S di RS H sangat ramah. Aku sudah beberapa kali berinteraksi dengannya, mulai dari proses kuretase sampai kontrol bulanan Romi. Dan ramahnya masih sama sampai sekarang; nada bicaranya tenang, nggak terburu-buru, dan selalu membuatku merasa dihargai sebagai pasien. Beliau juga menjelaskan semua hal dengan detail, posisi janin, ketuban, lilitan plasenta, posisi plasenta, berat badan bayi, hingga rasanya bingung mau menanyakan apa lagi.
RS H sendiri berdasarkan pengalamanku, agak kurang dari segi fasilitas, terutama makanan. Tapi aku juga nggak berharap banyak, mengingat biayanya jauh lebih terjangkau. Untuk soal makan dan kenyamanan, aku merasa bisa mengatur sendiri. Toh insya Allah kalau semua berjalan lancar, aku tidak akan lama-lama dirawat.
Setiap mengambil keputusan terkait kehamilan, aku selalu berdiskusi dengan suamiku—mulai dari biaya, pemilihan dokter, sampai kemungkinan proses lahiran. Aku sempat bilang, dr. W di RS P tampaknya membuka peluang untuk persalinan pervaginam. Kalau dr. S di RS H juga mendukung pervaginam, aku otomatis akan memilih dr. S.
Namun kalau ternyata dr. S tidak mendukung persalinan pervaginam, kami harus bicara lagi, menimbang ulang: melahirkan pervaginam dengan biaya lebih besar, atau menjalani caesar dengan biaya yang lebih terjangkau.

Komentar
Posting Komentar