Perjalanan Panjang Bag.4
Hari-hari trimester pertama lumayan berat bagiku. Setiap bangun tidur, kepala terasa keliyengan dan tubuh lemas. Badanku seperti slime lembek yang perlahan tenggelam ke dalam kasur.
Boro-boro minum vitamin dari dokter, sekadar minum air putih saja rasanya perjuangan.
Aku mencukupkan energi harianku dengan susu kedelai kemasan—aku tahu mengandung banyak gula dan pengawet, tapi itulah salah satu yang masih bisa kutelan sebagai penyambung hidup. Selain itu, bubur ayam tanpa taburan daun bawang (kuahnya pun hanya sedikit karena lidahku sangat sensitif terhadap rasa asin), roti tawar tanpa apa-apa, serta beberapa jenis biskuit kering dan buah-buahan.
Aku ingat nasi pertama yang bisa kunikmati adalah pada hari-hari Idul Adha. Suami, adik ipar, dan anak-anak membakar sate di depan rumah. Aku tetap diam di dalam kamar dengan pintu dan jendela tertutup—ikhtiar agar aroma asap atau daging tidak memicu mual.
Setelah selesai dibakar, mereka masuk ke rumah dan makan sate dengan sambal kecap. Aku membuka pintu kamar, mendekati suamiku yang makan dengan lahap. Kucoba sesuap, dua suap—kok enak. Di situlah pertama kalinya aku CLBK dengan nasi.
Namun aku belum sepenuhnya berdamai. Aku hanya bisa memakan lauk-lauk tertentu yang tidak mudah dibuat setiap hari.
Pernah suatu hari aku meminta suami membuat tempe goreng dan sambal kecap, menu sederhana yang mengingatkanku pada sarapan saat nyantri dulu. Aku hampir menangis kecewa ketika mendapati tempe mendoan penuh taburan daun bawang—tapi aku menahan diri agar suamiku tidak sakit hati. Aku tetap memakannya dengan mengupas kulit tepungnya dan menikmati tempenya bersama sambal kecap.
Bagi banyak orang, ngidam mungkin terlihat aneh dan merepotkan. Tapi yang mengalami pun merasa lelah dan berharap masa itu cepat berlalu. Bayangkan aku, penggemar mi, bakso, nasi goreng, dan mendoan, mendadak mual hanya dengan mendengar namanya atau melihat gambarnya. Sementara makanan yang paling aku inginkan saat itu adalah lumpia Semarang—yang sangat sulit didapatkan, baik offline maupun online, di daerah rumahku yang agak terpencil.
Aku selalu bersyukur memiliki suami yang pengertian dan berusaha memahami apa yang kurasakan. Tidak menghakimi atau melontarkan kata-kata yang membuatku sedih. Meski aku tahu ia kerepotan mengambil alih banyak pekerjaan rumah, ia tetap berusaha menjaga mood-ku.
Aku juga teringat suatu malam ketika aku sangat ingin makan tahu bulat—iya, makanan murah yang sering lewat di kompleks. Beberapa hari setelah aku mengungkapkan ngidamku, suamiku pergi naik motor bersama anak-anak demi mencarikannya. Anehnya, malam itu tukang tahu bulat tak terlihat batang hidungnya. Bahkan beberapa hari setelahnya.
Aku bukan tipe yang harus dituruti saat itu juga. Aku bisa menunggu, meski pikiranku penuh oleh bayangan makanan itu. Saat hamil dengan lonjakan hormon yang tak karuan, aku bersyukur masih punya kesadaran diri untuk memahami situasi: suamiku sibuk, beban hidupnya banyak, dan lokasi rumah kami jauh dari mana-mana.
Aku sudah terbiasa menunda makanan ngidamku hingga beberapa bulan kemudian, bahkan pernah sampai bayiku lahir ke dunia.
Pada akhirnya, masa-masa itu memang berat, tapi juga penuh pengingat tentang kasih sayang dan kesabaran yang saling kami berikan. Trimester pertama tidak pernah mudah, namun ada rasa haru tersendiri ketika mengingat bagaimana kami melewatinya bersama pelan-pelan, satu hari demi satu hari. Trimester pertama selalu punya cerita sendiri di tiap kehamilanku, aku bersyukur bisa melaluinya, meski pada waktu itu aku banyak mengeluh dan menangis. Namun itu adalah perjuangan seorang ibu, yang menjadi nilai yang tak sia-sia di sisi Allah.
Komentar
Posting Komentar