Ketika Tantangan Kecil Mengubah Banyak Hal
Sebagai orangtua dari anak yang sudah mulai memasuki usia sekolah, masa-masa ujian selalu menjadi masa paling menegangkan bagiku. Aku tidak menuntut anak untuk harus juara satu, harus dapat nilai sempurna, atau apapun itu. Aku hanya ingin mereka totalitas. Mengusahakan yang terbaik, belajar dengan sungguh-sungguh, agar setidaknya tidak ada penyesalan di akhir.
Menjelang waktu ujian, biasanya aku membahas soal-soal di buku anak, mengajari mereka teknik belajar yang biasa aku gunakan; menandai dan meringkas kalimat yang panjang, kadang juga kami merancang "jembatan keledai" untuk merumuskan sesuatu. Pola ini sudah menjadi bagian dari ritme belajar kami di rumah. Dan alhamdulillah, dengan cara belajar dan disiplin yang aku terapkan, anak-anak hampir selalu mendapatkan nilai yang mereka inginkan.
Aku memang sangat tegas dalam hal belajar mempersiapkan ujian. Karena belajar adalah bagian dari kewajiban mereka sebagai siswa. Dan mereka perlu bersungguh-sunggah melakukannya. Meski diselipi drama, mogok, atau tangis-tangis kecil, aku tetap berpegang pada nilai itu. Setidaknya di masa ini, mereka tahu bahwa tiap fase kehidupan ada tanggung jawab yang kudu diemban.
Begitu pula dalam hal menghafal Al-Qur'an. Aku ingin setidaknya bacaan anak cukup baik. Tidak perlu banyak atau memasang target yang besar.
Cerita
Salah satu anakku agak kurang antusias belajar. Tiap kali membahas soal, ia sering ngambek. Padahal aku tahu ia anak yang cukup cerdas. Kemampuan menghafalnya cepat. Dalam pelajaran syar’i --fikih, hadis, Al-Qur’an, bahasa Arab... memang banyak yang harus dihafal, aku tahu ia sebenarnya mampu. Namun tetap saja, drama belajar malam hampir selalu terjadi.
Dalam hal tahfizh Al-Qur’an pun sama. Ia sulit diajak murojaah atau menghafal baru. Lebih memilih menangis ketimbang mengarahkan energinya untuk fokus.
Aku sudah mencoba berbagai cara. Aku bahkan menawarkan les tahfizh di luar, les bahasa Inggris, dan sebagainya untuk memancing semangat belajar dan menumbuhka mental bersaingnya. Tapi ia menolak semuanya bahkan tanpa ada keinginan untuk sekadar mencoba.
Selama ini aku menggunakan sistem hadiah untuk pencapaian anak-anak. Setelah ujian atau mencapai target hafalan, selalu ada hadiah kecil sebagai apresiasi. Tidak besar, kadang makan enak di luar, alat tulis yang mereka anggap mewah, mainan "bergarga", atau mentraktir snack yang jarang mereka dapat. Tapi aku selalu menegaskan bahwa hadiah itu diberikan untuk usaha mereka, bukan hasil.
Kembali ke anak yang kuceritakan ini. Baru-baru ini di sekolah, guru tahfizhnya memberikan target tahfizh bulanan, lengkap dengan hadiah bagi anak yang paling cepat dan tepat meraihnya.
Lalu tiba-tiba, anakku berubah. Mendadak sangat ambisius. Ia menghafal siang-malam. Bahkan saat sekolah meliburkan halaqah tahfizh, ia tetap menghafal dan setor hafalan dengan sukarela.
Aku sejujurnya terkejut --dengan cara yang positif. Selama ini berbagai caraku memancing ketekunan tidak berhasil, tapi ternyata ia justru terpacu oleh sesuatu dari luar rumah. Ia bisa berusaha luar biasa keras melawan dirinya sendiri. Dan ia dengan bangga memamerkan hadiah yang ia dapat dari sekolah.
Di titik itu, aku sadar satu hal besar: pertumbuhan mental anak itu ada timing internalnya. Bukan paksaan dari luar. Aku mengajarkan disiplin, aku memberikan apresiasi, namun tak ada yang lebih berarti daripada kesadaran diri yang tumbuh dari dalam hatinya.
Dalam Islam, ada yang namanya hidayah taufik. Hidayah ini bukan sekadar mengetahui mana yang benar, tapi kemampuan untuk mau dan mampu melakukan kebaikan itu. Sesuatu yang hanya Allah bisa tanamkan. Kita hanya bisa menyediakan lingkungan, bimbingan, dan contoh, tapi tidak bisa memaksa hati mereka bergerak. Bahkan Rasulullah pun ditegaskan oleh Allah:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَآءُ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qasas: 56)
Yang bisa kulakukan hanyalah menyiapkan tanahnya, sementara Allah-lah yang menumbuhkan.
Nyatanya, anak akan berkembang saat ia merasa siap. Bukan saat kita panik. Dan ketika ia merasa tertantang oleh sesuatu di luar sana, ia bisa melakukan hal-hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Aku juga belajar bahwa tugasku bukan untuk ngegas, tapi untuk mengarahkan. Ada disiplin, ada struktur, tapi tetap memberikan ruang bernapas. Aku perlu memperbaiki diri untuk tidak terlalu menekan. Lebih tepatnya, aku harus menemukan cara membimbing dengan elegan.
Dan benar, lingkungan itu punya pengaruh luar biasa. Dalam hal ini, aku bersyukur pada guru tahfizh anakku yang berhasil memberikan tantangan dan motivasi dengan cara yang tepat, cara yang berhasil mengetuk pintu hatinya.
Orang sering bilang, “It takes a village to raise a child.” Perkembangan anak memang membutuhkan banyak tangan dan banyak hati. Rumah memberi pondasi, sekolah memberi pengalaman, guru memberi arah, teman memberi pengaruh. Semua bekerja bersama. Tidak cukup kalau hanya satu pihak yang bergerak.
Dan sebagai penutup, aku belajar bahwa anak-anak punya musimnya sendiri. Ada musim menolak, musim diam, musim bermain, dan tiba-tiba musim melesat. Kita hanya perlu hadir, sabar, dan tidak lelah menanamkan kebaikan. Karena pada akhirnya, yang kita rawat bukan hanya hafalan atau nilai ujian, tapi hati. Hati yang mau belajar, mau berkembang, dan mau menjadi lebih baik. Dan hati itu hanya akan mekar pada waktunya.
Semoga Allah memberikan keistiqomahan pada kita, untuk selalu berlomba dalam kebaikan, dalam rangka mencari ridha-Nya.
Komentar
Posting Komentar