Mengajar Anak Menabung

Meskipun uang saku anak-anakku pas-pasan, aku berusaha memotivasi mereka untuk berusaha menabung. Terutama Jihan dan Umar, yang sudah mulai paham nilai uang dan harga barang. Tanpa target dan paksaan. 

Uang saku mereka hanya 5.000 rupiah per hari. Tidak banyak, tapi menurutku cukup untuk sekadar jajan di sekolah, apalagi setiap hari mereka sudah kubawakan bekal dari rumah.

Di era digital seperti sekarang, anak-anak sangat rentan terpapar gaya hidup hedon dari influencer, iklan, dan berbagai endorsement. Ada saja keinginan mereka untuk membeli ini dan itu. Tentu aku tidak serta-merta memenuhi semuanya. Selain mengajarkan membedakan kebutuhan dan keinginan, aku juga ingin mereka belajar menunda gratifikasi. Karena di usia mereka yang masih dini, belum memiliki penghasilan, menabung adalah salah satu metode paling aman untuk memenuhi keinginan (ada solusi lain yang insya Allah akan aku bahas di tulisan terpisah).

Kadang, sisi hedon mereka muncul cukup dominan. Misalnya Umar, yang pernah meminta sarung tangan gaming, katanya, bisa membuat gamer nyaman bermain game meskipun jarinya berkeringat. Padahal Umar hanya bermain game sekali seminggu, itu pun hanya satu jam. Saat kutanya apakah tangannya berkeringat selama satu jam itu, ia menjawab tidak. Murni hanya penasaran dengan produk influencer, yang sangat mungkin overclaim. Di situ aku ajak dia berdiskusi, bahwa ia sebenarnya tidak membutuhkan sarung tangan itu, berpotensi mubazir, dan besar kemungkinan akan menyesal membuang uang tabungannya untuk hal yang tidak bermanfaat. Ia mengiyakan meski sempat cemberut. Karena ia berniat membelikan juga untuk teman dekatnya. Aku jelaskan bahwa temannya juga akan senang dan berterimakasih bila ia memberikan hadiah yang bermanfaat, seperti buku atau alat tulis yang sering digunakan. 

Jihan juga pernah ingin menggunakan uang tabungannya untuk membeli washi tape dan aksesori journaling dengan total hampir seratus ribu. Sekilas terlihat bermanfaat, tetapi menurutku terlalu banyak, apalagi kulihat dia belum rutin journaling. Ia hanya lapar mata dengan motif printilan jurnal yang sangat beraneka ragam. Jadi aku memintanya memilah ulang barang yang dia inginkan agar anggarannya maksimal lima puluh ribu saja. Jika yang ada benar-benar digunakan sampai habis, barulah ia boleh membeli motif dan printilan lainnya.

Namun bukan berarti aku pelit atau terlalu perhitungan dengan uang tabungan yang sebenarnya merupakan hak mereka. Jika aku menilainya bermanfaat, aku sangat mendukung mereka membelinya. Misalnya saat Jihan ingin memberi kenang-kenangan untuk temannya yang lulus SD, atau Umar yang ingin membeli baterai untuk menyambung “nyawa” mainannya. Aku hanya membimbing bagaimana mereka membelanjakan uang yang mereka hemat selama ini dengan bijak dan tepat sasaran, sehingga tidak menimbulkan penyesalan. 

Mengajarkan kematangan finansial pada anak bukan soal uang saja. Orang tua perlu mengajarkan disiplin, tanggung jawab, kemampuan menahan impuls, serta cara memilah dan mengelola konten yang mereka konsumsi.

Beberapa cara aku mengajarkan menabung kepada anak-anak:

1. Tabungan fisik (celengan).

Umar biasanya menyisihkan seribu atau dua ribu rupiah dari uang sakunya dan memasukkannya ke celengan yang tersegel. Setiap kali memasukkan uang, ia menuliskan jumlahnya di badan celengan. Umar lebih semangat jika bisa melihat progresnya.

Jihan sedikit berbeda. Ia menggunakan toples bekas transparan agar mudah memasukkan uang dan menghitung saldo tabungannya.

2. Tabungan jangka pendek.

Kadang, Jihan dan Umar janjian dengan teman-temannya untuk membeli makanan yang agak "mewah", seperti seblak atau mie, seminggu sebelum hari H. Mereka membuat target menabung agar uangnya terkumpul tepat waktu (uang ini tidak dimasukkan ke celengan).

3. Untuk Romi, karena masih kecil dan belum benar-benar paham konsep menabung, ia mendapat jatah jajan dua kali sehari. Biasanya ia jajan di pagi hari saat sekolah. Jika sore harinya ia tidak meminta jajan, biasanya karena asyik bermain, uangnya kusimpan di dompet khusus. Nantinya uang yang terkumpul akan digunakan sesuai kebutuhannya. 

4. Investasi Saham.

Uang lebaran anak-anak yang didapat dari keluarga jumlahnya kadang lumayan besar. Sebagian kami ambil untuk dimasukkan ke saham, dan suamiku yang mengelola pembelian serta dividennya. Dividen yang didapat diputar lagi untuk membeli saham. Tentu sebelumnya kami jelaskan le anak-anak bahwa sebagian uang lebaran mereka ditabungkan, bukan diambil untuk dipakai orang tuanya.

5. Logam mulia.

Tidak banyak, tiap anak-anak punya sedikit logam mulia yang sesekali mereka lihat. Jumlah tidak penting, kami hanya ingin mengajarkan beberapa konsep menabung yang aku harap kelak bisa memilih metode menabung yang cocok dengan mereka. Ketika sesekali tabungan emas mereka kami keluarkan untuk dilihat, ada rasa bangga dan bahagia karena mereka menyadari, “Oh, aku punya "harta berharga" seperti Mama dan Abah.”

6. Menabung di sekolah.

Anak-anak juga rutin menabung di sekolah seminggu sekali. Nominalnya dari aku, bukan dari uang jajan mereka. Biasanya tabungan sekolah dibagikan setiap akhir tahun ajaran, dan uangnya langsung mereka tambahkan ke celengan masing-masing. Kadang digunakan sebagiannya untuk menggenapi anggaran keinginan mereka. 

Aku percaya, mengajarkan kecakapan finansial sejak dini adalah bagian dari adab terhadap rezeki. Anak-anak mungkin belum sepenuhnya memahami sekarang, tetapi semoga kelak mereka mengingat bahwa setiap rupiah adalah amanah. Dan semoga, melalui kebiasaan kecil yang kami bangun hari ini, mereka tumbuh menjadi pribadi yang bijak, bersyukur, dan mampu menjaga apa yang Allah titipkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Kata-Kata Bahasa Arab Sedih dan Artinya [+Gambar]

Renungan Anak Santri

35 Quotes About Love dan Artinya