Antara T dan F

Ada konten seru-seruan di media sosial tentang perbedaan MBTI T dan F. Yaitu kita disuruh mengirim pesan ke pasangan dan melihat jawabannya.

"Aku lagi sedih, trus aku beli roti"



Jika pasangan menjawab, "kenapa sedih?" Itu artinya dia F. Jika jawabannya, "roti apa/beli di mana?", fix dia tipe T.

Sebetulnya perbedaan sikap antara T dan F nggak sesederhana itu, ya. Tapi aku agak tersentil saat muncul komentar-komentar di sana--yang aku harap itu sekedar canda--, "wah, tipe T itu ternyata nirempati, nggak punya perasaan, nggak peka".

Sebagai tipe T yang pasti akan menjawab dengan "roti apa/beli di mana?", aku merasa perlu klarifikasi, bahwa sebetulnya aku (kami) juga melakukannya berdasarkan empati.

Aku memilih menjawab itu sebagai rekasi pertama karena aku ingin memvalidasi kesedihan seseorang. Aku tahu dia sedih, oke. Itu jelas. Namun sebab sedihnya tidak harus langsung dibahas, bukan?

Aku lebih memilih untuk membiarkannya menyelesaikan ceritanya lebih dahulu. Misalnya, apakah rotinya enak? Apakah toko rotinya cantik? Apakah bertemu dengan orang yang ia kenal? Atau roti itu sama sekali tidak bisa membantunya menghapus kesedihan. Aku ingin mendengar semuanya sampai tuntas. Baru setelahnya, aku akan bertanya sebab kesedihannya.

Aku berfikir bahwa seorang yang sedih bisa jadi makin sedih ketika kita meminta diceritakan tentang kesedihannya, karena akan tampak seperti memanggil ulang memori itu. Bagiku, menghiburnya dahulu lebih tepat. Ketika ia siap bercerita, ia akan dengan sendirinya bicara tanpa diminta. Itu juga merupakan bentuk empati, bukan?

Seperti halnya T yang masih punya feeling, seorang F juga pasti punya kemampuan berfikir. Tidak fair jika kami bilang bahwa orang tipe F tidak punya otak atau logika. Wah, bisa-bisa ribut seluruh dunia beserta perintilannya.

Tipe F dan T, selama ia manusia normal (bukan psikopat), pasti punya emosi. F memulai dari perasaan orang lain, dan T menyusun struktur, fakta, dan solusi. T punya sudut pandangnya sendiri, yang kadang tidak tampak lembut.

Namun seperti jenis kepribadian lainnya, seorang T punya kelebihan dan kekurangan. T terlihat terlalu tegas, lugas, to the point. Niat ingin membantu bisa disalahartikan sebagai terburu-buru. Seorang T sering merasa bahwa logika adalah bentuk perhatian, dan bahwa jika masalah selesai maka perasaan orang akan ikut membaik. Padahal tidak demikian adanya. Ada hal-hal tak terlihat, rasa yang belum selesai, meskipun solusi sudah ditemukan.

Dan di titik inilah aku mulai menyadari sesuatu:

tinggal bersama keluarga yang sebagiannya F membuatku harus belajar mempertajam cara berempati, tanpa kehilangan jati diriku sebagai seorang T. Aku tidak harus berubah menjadi F, tapi aku bisa mencari cara agar keluargaku menerima maksudku.


Misalnya, saat anakku menyetorkan hafalan dengan panjang-pendek yang berantakan, daripada aku mencari sebab kesalahannya dan bilang “padahal ustadzah sudah membacakan berkali-kali, kok bisa lupa?”.

Seharusnya aku mulai dari sesuatu yang membuatnya aman.

Misalnya dengan mengatakan, “Kayaknya kamu lagi capek ya? Nggak apa-apa, kita cek bareng pelan-pelan. Mama temenin.” Setelah ia merasa lebih tenang, sikap defensif hilang, baru logikanya bisa diajak bekerja sama.


Begitu juga saat meminta suamiku memasang bidet dan ia menunda berbulan-bulan. Sisi T-ku merasa: “Ini tinggal pasang doang, kenapa sih ditunda?” dan spontan aku membuat deadline. Tapi, untuk tipe F dorongan semacam itu terasa seperti pressure, bukan bantuan. Bahkan suamiku tak segan melanggar deadline itu dan membuat hatiku memanas.


Yang sebenarnya ia butuhkan mungkin adalah konteks yang lebih emosional, bukan instruksi.

Misalnya, “Bah, tiap jongkok nyebokin Romi, aku kepikiran HPL yang makin dekat. Gimana kalau nanti kita di RS, dia pup dan nggak bisa cebok sendiri? Kalau kamu bisa bantu pasang minggu ini, itu bakal bikin aku lebih tenang dan segera memulai training ceboknya.”

Di situ mungkin harga dirinya lebih terjunjung, bukan terkekang.


Contoh lain adalah ketika anakku mengeluhkan lauk yang kumasak karenaenurutnya nggak matching. Refleks T-ku berkata, “Makan saja, enak kok. Bergizi, nggak beracun.” Karena logikaku bilang: kalau aman dan sehat, selesai. Tapi untuk anak dengan kecenderungan F, yang ia butuhkan pertama kali adalah diakui preferensinya.


Sebetulnya aku bisa menjawab, “menurutmu apa lauk yang cocok untuk sayur ini? Besok lain kali Mama masak dengan lauk yang menurutmu cocok".


Perlahan aku belajar bahwa urutan kecil ini sangat menentukan:

acknowledge dulu, baru explore, lalu solve.

Ini tidak menghilangkan jati diriku sebagai T, tapi membuat solusiku lebih bisa diterima, meski prosesnya pasti terasa tidak mudah karena butuh ekstra energi untuk mengontrol reaksi diri.


Pada akhirnya, T dan F sama-sama punya emosi dan sama-sama ingin melakukan yang terbaik. Yang berbeda hanyalah pintu masuknya. Dan aku berharap ketika pintu masuk itu ditemukan, percakapan, hubungan, dan kehangatan keluargaku bisa tumbuh jauh lebih mudah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Kata-Kata Bahasa Arab Sedih dan Artinya [+Gambar]

Renungan Anak Santri

35 Quotes About Love dan Artinya