Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

Perjalanan Panjang Bag. 3

Saat mengobrol dengan dr. S, beliau tampak menyetujui untuk membantuku melahirkan normal kali ini. Agak menarik karena saat aku hamil Romi di 2020 dulu, beliau tidak bersedia membantu VBAC2-ku saat itu. Namun karena alhamdulillah Romi berhasil lahir VBAC di Semarang, beliau merasa nggak ada salahnya untuk mencoba.  Beliau juga mengingatkanku untuk memperhatikan beberapa hal; menjaga pola makan, mengurangi gula dan karbohidrat berlebihan, memperbanyak protein dan serat, serta tetap beraktivitas aktif secukupnya. Lucunya, saat beliau menjelaskan itu semua, aku sedang mengunyah permen karet ketigaku hari itu. Ingat kan, aku sedang dalam fase banyak meludah. Salah satu cara biar tetap nyaman dan bisa bicara normal saat di luar rumah adalah terus mengunyah permen karet. Rasanya cepat hilang karena air liurku berlimpah, tapi tetap kuunyah supaya tidak menambah konsumsi gula. Hasilnya, tiap pulang dari luar rumah aku hampir selalu kembung, berbeda kalau air liurnya aku ludahkan saja. Sete...

Perjalanan Panjang Bag.2

Gambar
Di tengah ngidam yang berat pada trimester pertama, aku mulai mencari dokter yang kira-kira cocok untuk mendampingiku melahirkan nanti. Baru kusadari, jumlah dokter obgyn perempuan di rumah sakit sekitar sini sangat sedikit. Rumah Sakit Islam pun tidak ada yang dekat dengan rumahku. Berbeda sekali dengan di Semarang, jarak dari rumah orang tuaku ke RSI R hanya sekitar setengah jam, dan pilihan dokternya banyak. Aku sempat mencoba periksa ke salah satu rumah sakit swasta terdekat, sebut saja RS P. Ini adalah pertama kalinya aku periksa ke RS ini dan bertemu dengan dr. W. Beliau dokter yang baik, pembawaannya mengingatkanku pada dr. P di RS R Semarang--dokter yang membantuku melahirkan Romi. Tipe dokter yang tidak banyak bicara kalau tidak ditanya, tapi akan menjawab dengan sabar dan menunggu pertanyaan pasien sampai tuntas. Yang bikin aku lumayan takjub, dr. W bahkan mencatat satu per satu nama dokter yang menangani persalinanku sebelumnya. Selama empat kehamilan sebelumnya, belum ada d...

Perjalanan Panjang Bag. 1

Gambar
Ada satu masa dalam hidup yang membuat kita berhenti, menunduk, dan menarik napas pelan. Masa menjelang kelahiran. Meskipun ini bukan kehamilan pertama, rasanya tetap saja ada degup khusus yang sulit dijelaskan. Tubuhku berubah begitu cepat: lebih mudah lelah, lebih hangat, lebih sering butuh rebahan. Kadang aku heran sendiri. Kok bisa ya waktu berjalan secepat ini? Baru kemarin rasanya aku memaksa diri kuat menghadapi hari-hari pertama trimester awal, dengan segala mual dan lemasnya, sekarang tinggal menghitung minggu sebelum bertemu seseorang yang selama ini hanya kurasakan geraknya dari dalam. Sepertinya menarik juga menceritakan kehamilan kelimaku ini. Ya, kelima. Kehamilan ketigaku berakhir keguguran dan kuretase. Dan di kehamilan kelima ini, aku lebih aware dan berhati-hati, lebih berjuang untuk dapat melahirkan pervaginam, hasil belajar dari pengalamanku sebelumnya. Awalnya, aku ingin mencukupkan diri dengan tiga anak saja. Tiga saja rasanya sudah begitu berat tanggung jawab yan...

Melihat 'Siapa' di Balik Kenyamanan

Gambar
Anak-anak sering mengira rumah berjalan sendiri. Saat mereka bermain, piring tiba-tiba bersih, baju rapi muncul di lemari, dan kasur selalu kembali tertata. Bahkan bukan hanya anak-anak, anggota keluarga yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah sangat mungkin merasa demikian. Belum pernah melakukan, belum pernah merasakan, belum pernah belajar bahwa setiap hal baik dan kenyamanan yang mereka nikmati dilakukan oleh seseorang. Kenyataannya, mengajari lewat video, buku, atau media dua dimensi sering kali kurang memberi dampak. Sifatnya tidak praktis, tidak dirasakan langsung. Itulah mengapa, sebagai ibu yang kini memegang peran sebagai “napas rumah tunggal” (orang yang mengerjakan sebagian besar tugas rumah tangga tanpa asisten), aku memilih untuk melibatkan anak-anakku. Bagiku, empati tumbuh dari rasa peduli. Dan rasa peduli tumbuh ketika seseorang pernah merasakan apa yang dirasakan orang lain. Aku menormalkan memberi anak tanggung jawab sesuai usianya. Agar mereka tahu bahwa rumah tak bi...

Mengapa Film Horror Terlarang di Rumahku?

Gambar
Suatu hari aku membaca chat di  grup Whatsapp anakku. Ada salah seorang teman yang menganjurkan anggota grup untuk menonton film horor tertentu. Mungkin film itu, menurutnya, seru dan ia ingin berbagi keseruan itu dengan teman-temannya agar obrolan di sekolah lebih bervariasi. Aku tidak ingin mengomentari kebijakan orang tua si anak yang mungkin membolehkan tontonan tersebut, meski rating usianya masih di bawah anjuran. Namun secara pribadi, aku memang sudah lama melarang anak-anakku menonton film horor atau konten apa pun yang berhubungan dengan itu dengan beberapa alasan Perkembangan psikologis dan otak anak Anak-anak belum bisa sepenuhnya membedakan antara imajinasi dan kenyataan. Audio, visualisasi, dan suasana mencekam dalam film bisa menempel kuat di memori mereka dan membayangi pikiran dalam waktu lama, bahkan menjelma menjadi khayalan dan mimpi buruk.  Jangankan film horor, anak balitaku yang menonton film anak rating 7+ dengan cerita sederhana pun bisa panik dan stre...

Air Hangat Tiap Pagi

Gambar
Tiap pagi sebelum anak berangkat sekolah, aku selalu menyiapkan air panas untuk mereka mandi. Meski kadang bangun kesiangan, air hangat tetap jadi rutinitas yang kuusahakan sepenuh hati. Awalnya, tak ada yang meminta. Niatku hanya menyiapkan hal kecil-namun istimewa- yang bisa menambah semangat anak-anak untuk bangun dan mandi tepat waktu. Di Bogor, suhu air pagi hari sering kali rendah, membuat siapa pun jiper untuk menyentuhnya. Water heater kerap jadi opsi yang muncul di kepala tiap kali aku menyalakan kompor. Andai punya, mungkin pagiku tak perlu sesibuk itu. Tapi untuk saat ini, karena memikirkan dana untuk pengadaan dan biaya listrik, aku memilih berfokus pada apa yang ada. Aku percaya, setiap gerak dan amal baik yang kuniatkan ikhlas insya Allah tak akan sia-sia. Kalau dipikir-pikir, sayang juga kalau pahala menyiapkan air hangat justru “diambil alih” oleh mesin. Ya... kalimat itu hanya usaha untuk menghibur diri. Wkwkwk.  Tujuanku tetap sama, aku ingin anak-anak merasakan...

Hujan

Gambar
Belakangan, cuaca tak menentu. Terkadang siang hari panas menyengat, kipas angin, alih-alih mendinginkan udara, justru terasa seperti meniupkan angin hair dryer . Lalu sore hingga malam, hujan mengguyur deras, kadang sampai membangunkanku dari tidur lelap. Konon, inilah musim pancaroba, masa peralihan. Saat imunitas tubuh diuji habis-habisan untuk beradaptasi dengan perubahan suhu dan cuaca yang tak menentu. Sebetulnya, aku lebih menyukai musim penghujan dibanding kemarau. Ada ketenangan dalam mendengar tetes hujan. Sebagaimana tanah yang basah, hatiku pun ikut terasa sejuk setiap kali mendengar rintiknya. Aku teringat masa kecil dulu betapa senangnya berangkat sekolah di bawah hujan. Naik motor sambil berlindung di balik mantel, atau berjalan bernaung payung bertelinga yang saat itu sedang tren. Tapi musim hujan di masa dewasa, dan karirku sebagai ibu rumah tangga, membawa keresahan yang berbeda. Aku sering deg-degan dengan beberapa bagian rumah yang bocor —khawatir anak-anak terpeles...

Rumah yang Kusebut Blog

Gambar
Kadang aku bertanya, dengan bermacam jenis media sosial yang ada, mengapa aku masih menulis di blog. Padahal di media sosial kemungkinan tulisanku dibaca lebih besar dibanding blogku,yang mayoritas tulisannya mengalir tanpa kata kunci, teknik SEO (Search Engine Optimization) dan sebagainya. Mungkin jawabannya adalah, bagiku blog bukan sekadar tempat menulis. Blog adalah rumah yang bisa membuatku merasa pulang, kembali menjadi diriku tanpa pencitraan. Tanpa takut dikomentari dan dihakimi.  Aku memulai perjalanan menulisku di buku diary. Dimulai saat kelas tiga SD. Saat itu aku menulis jurnal emosiku, menceritakan apa yang terjadi tiap hari, dan bahkan kadang aku membuat puisi. Saat diary book yang ada kuncinya mulai ngetren, aku tak pernah tak punya buku itu. Seperti sebuah item yang menjadi ciri khasku. Diary book milikku saat itu selalu kuisi dengan berbagai hal yang aku suka. Aku kadang jugamenulis jurnal refleksi di binder, yang kerap dipinjam dan dibaca oleh kawan-kawanku di pe...

Khadijah, Wanita yang Pertama Masuk Islam bag. 1

Aku tidak mengenal seorang perempuan pun, baik dari kalangan Arab maupun selainnya, yang memiliki ketajaman pandangan seperti Khadijah. Ia adalah perempuan yang cantik dan kaya raya. Setelah suaminya meninggal, banyak tokoh terkemuka Makkah yang ingin menikahinya. Namun dengan kecerdasannya, Khadijah mampu menilai dan memilah siapa lelaki yang benar-benar pantas di hatinya. Ia tidak mencari kemuliaan nasab atau harta, melainkan mengharapkan sosok suami yang memiliki akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur. Lalu Allah mempertemukannya dengan Muhammad bin Abdullah, pemuda yatim, miskin harta namun kaya akan akhlak. Ia dikenal di kalangan Quraisy dengan sebutan Al-Amīn, yang terpercaya. Suatu hari, Muhammad berangkat bersama kafilah dagang menuju negeri Syam. Ia dipercaya untuk membawa dan mengelola harta milik Khadijah. Bersamanya turut seorang budak Khadijah bernama Maisarah. Selama perjalanan, Maisarah menyaksikan betapa mulia akhlak Muhammad, sesuatu yang belum pernah ia lihat pada l...

Imperfect

Gambar
Aku bukan orang yang menuntut kesempurnaan. Namun bila sudah terlibat dalam suatu urusan, aku ingin memastikan segalanya berjalan sebaik mungkin. Dalam pekerjaan, dalam hidup, dalam babyak hal yang terlihat oleh mata.  Aku menyusun rencana, membuat inisiatif, memasang target, dan menentukan tenggat waktu. Aku sadar, kebiasaanku ini terkadang bisa membawa tekanan baik untukku atau bagi orang-orang yang bekerja bersamaku. Bagiku, pekerjaan adalah tentang totalitas, maksimalis, meski tak ada gading yang tak retak. Namun setidaknya dengan usaha keras, tak ada rasa bersalah yang menghantui.  Aku tak ingat sejak kapan aku begini, tapi mulai menyadarinya sejak SMA. Saat itu aku pertama kali punya proyek sendiri. Sederhana, tugas makalah dan ditanbah kegiatan sebagai anggota organisasi siswa. Aku masih ingat bagaimana aku menulis hingga tengah malam, menyendiri di perpustakaan pesantren. Tak berhenti hingga aku betul-betul mengantuk. Saat diberi tugas mengerjakan sepuluh poin, aku mem...

Titik Nol

Gambar
Beberapa waktu lalu, aku menatap sudut rumah yang penuh barang, lalu berpikir, “Kapan ya aku punya ruang kerja yang tenang dan estetik biar semangat nulis? Meja yang menghadap jendela, dengan pemandangan indah yang membuat ide memenuhi kepala.” Tapi hari itu, aku sadar sesuatu, mungkin bukan ruangnya yang perlu berubah, tapi caraku memulai. Banyak orang ragu melakukan sesuatu karena merasa belum cukup ideal. Padahal, yang seharusnya dilakukan adalah memulai dengan apa yang sudah dimiliki. Ingin mealprep , rasanya kurang afdol tanpa storage minimalis yang seragam. Ingin jogging , tapi belum punya treadmill . Ingin menulis jurnal, tapi merasa tak bisa seindah milik konten kreator di dunia maya. Ingin memasak, tapi merasa dapur belum cukup estetik untuk menumbuhkan semangat. Padahal, memulai dengan apa yang ada justru cara paling nyata untuk mensyukuri yang sudah ada. Mulailah dengan tangan kosong, tapi niat penuh di hati. Itu bentuk syukur yang bisa membuat hidup terasa lebih berarti. M...

Ibu yang Sedikit Tidak Menyenangkan

Gambar
“Romi, sepatunya ditaruh di mana?” “Umar, tas tempatnya di mana?” “Jihan, baju kotornya kenapa ada di ranjang?” Kadang aku memilih berdebat, membuat keributan kecil di rumah. Padahal tenang lebih enak. “Minta uang untuk beli seblak (lagi)? Nggak bisa, dong, Kak. Pekan lalu udah Mama kasih. Kalau kamu mau seblak, tabung dari uang jajan harian.” “Barang sebanyak ini termasuk mahal, loh, Kak. Pilih beberapa yang paling dibutuhkan, potong budgetnya sampai setengahnya.” “Air yang tumpah dilap, Dek. Itu ambil di sana. Mama? Nggak mau. Yang numpahin air harus bertanggung jawab.” Kadang aku memilih membuat anak sedikit kecewa, menunda kesenangan mereka, menekankan tanggung jawab, menaruh batasan di beberapa sisi, untuk mengajarkan realita kehidupan. Aku melakukannya untuk menanamkan kebiasaan baik pada anak-anak. Mengajarkan kapan berhemat, kapan boleh menggunakan uang. Kapan boleh bersantai, kapan harus melakukan pekerjaannya sendiri. Hal-hal semacam itu membentuk pribadi, perlu dilatih sejak...

Hak, Adab, dan Hati yang Lapang

Gambar
Pagi itu, Umar mendatangiku dan bertanya, “Mah, siapa yang jemur selimut di jemuran depan?” Aku tahu jawabannya, namun memilih untuk tidak menjawab agar Umar tidak melanjutkan perbincangan itu. “Nggak tahu, Mar…” “Ibunya (ART) si A, Mah, yang jemur. Udah izin ke Mama belum?” “Belum, Mar. Nggak apa-apa, lagian Mama juga lagi nggak pakai.” “Nggak bisa gitu, Mah. Harus tetap izin dong. Masa pakai jemuran orang sembarangan…” Tak bisa dihindari, percakapan yang ingin kuhentikan sejak awal tetap bergulir. Satu sisi, aku bangga dengan kepekaan Umar dalam menerapkan adab keseharian. Seperti yang pernah kuceritakan di tulisanku yang lain, bahkan kepada saudara sendiri pun kita wajib meminta izin jika ingin meminjam barang dan tidak menggunaknnya sampai benar-benar diizinkan.  Setidaknya aku tahu nilai itu sudah tertanam pada dirinya. Jadi wajar ia akan merasa risih dan heran ketika melihat ada orang yang tidak menerapkannya. Namun di sisi lain, sebagai orang dewasa -dan mungkin pikiran bany...

Belajar Mandiri Bersama Anak-anak

Gambar
Anak-anakku bertanya, "Mah, kenapa kita nggak punya ART (Asisten Rumah Tangga)?" Bukan sekali atau dua kali pertanyaan ini diajukan padaku. Yang dulunya sempat kagok menjawab, sekarang aku lebih rileks mengungkapkan alasannya. Tidak menyalahkan rasa penasaran mereka, tetangga kami beberapa orang juga menggunakan jasa ART di rumahnya. Mungkin anak-anakku berpikir, andai di rumah ada ART, aku bisa lebih banyak bersantai dan lebih jarang mengucap kata "Mama capek" ketika menegur mereka. Atau "Mama banyak kerjaan" saat meminta mereka memaklumi kesibukanku.  Tanpa membandingkan atau memandang sebelah mata rumah orang lain, aku memilih untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian. Aku merasa setidaknya sampai saat ini belum membutuhkan ART, meski rumah tidak rapi-rapi amat, masakan juga tidak enak-enak amat, meski gunung setrikaan menghiasi pojok ruangan. Tidak ada yang lebih baik atau buruk, semua hanya tentang preferensi. Aku memiliki alasanku untuk tidak...

Jejak Cinta Yang Tersisa

Gambar
 Saat scrolling media sosial, aku melihat sebuah konten. Isinya tentang anak yang ibunya meninggal saat melahirkannya. Ada narasi yang kurang lebih begini bunyinya, "Andai Mama tidak melahirkanku, mungkin Mama masih hidup sampai saat ini". Aku mengalihkan pikiranku ke kolom komentar. Ternyata di luar sana ada banyak kisah yang sama sepertiku, ibu yang justru meninggalkan dunia tepat setelah melahirkan anaknya ke dunia. Aku, yang dilahirkan 34 tahun lalu. Sejenak rasanya seperti bercermin pada cerita orang lain. Banyak komentar yang memberikan penghiburan, "Mamamu kini di surga, semoga ia syahid", "Mamamu pasti bangga", "Kamu hebat telah melewati ini semua"... komentar itu membuatku turut merasa terkuatkan. Namun ada satu komentar yang membuatku tercekat. Membuat air mataku tak tertahankan, aku pun menangis tersedu begitu lama karenanya. "Jika ibumu bisa mengulang waktu dan diberi pilihan, pasti ia akan kembali memilih untuk melahirkanmu...

Menulis Adalah Pensieve Versiku

Gambar
Pensieve adalah benda fiktif dalam novel Harry Potter, berupa mangkuk batu perak tempat menyimpan ingatan. Para tokoh mengeluarkan benang putih dari kepala mereka, menyimpannya di sana, lalu mengamatinya kembali bila diperlukan. Sebagai generasi milenial -Potterhead- yang tumbuh bersama terbitnya novel ini di tahun 2000-an, aku sempat berkhayal betapa serunya memiliki Pensieve. Andai bisa meluangkan kepala yang penuh, tidak terbebani dengan banyak kenangan yang sebagian di antaranya tidak terlalu bagus. Seperti kejadian mengesalkan dengan teman, atau pikiran tak penting yang melelahkan… asal jangan hafalan Qur’an yang ikut hilang. Terkadang pikiran itu berjubel seperti lemari penuh berkas. Sebagian penting, sebagiannya ingin dihapus. Kadang pikiran itu menghantui bahkan saat rebah, bahkan menjelma dalam bentuk bunga tidur. To-do list yang tak kunjung selesai, pesan yang belum terbalas, atau kekhawatiran kecil yang kita simpan rapat-rapat. Banyak hal membuat senang, sedih, khawatir... r...

Yang Berubah Setelah Menikah

Gambar
Catatan: Aku menuliskan ini sebagai seorang wanita yang setelah menikah menjadi Ibu Rumah Tangga. Bila ada hal yang tidak sesuai atau tidak relate dengan teman-teman working moms , mohon maklum, ya. Aku baru saja mengunci pintu kamar mandi, ketika anak itu memanggilku dari baliknya. “Mamaaa... mamaa... aku mau pup ” Baru duduk akan menyuapkan makananku, anak itu datang lagi, memberondongku dengan lusinan pertanyaan. Mataku baru saja terpejam, tak sengaja tertidur setelah selesai memasak dan merapikan dapur, ketika suara kecil bertanya, “Ma, makan siang pakai apa?” Padahal panci panas berisi sup dan lauk masih mengepul di atas kompor. Anak siapa itu? Anakku. Semuanya cerita tentang anakku. Sejujurnya aku tak pernah menyangka akan ada begitu banyak perubahan setelah menikah. Selain tinggal bersama lelaki yang dulu bahkan tak kukenal dekat, aku masih terkejut dengan kehadiran anak kecil yang terlahir dari rahimku sendiri. Sesuatu yang sebelum menikah tak pernah kubayangkan seribet ini. J...

Larangan Adalah Cinta

Gambar
Hari itu, anakku bertanya dengan serius, “Si Fulan dibolehkan sama orangtuanya, kenapa aku enggak, Mah?” Pertanyaan klasik yang keluar dari mulut hampir semua anakku. Tiga pribadi, tiga pertanyaan, namun inti jawabannya selalu sama.  Lagi-lagi aku harus kembali mengulang penjelasan. Tidak masalah, memang seperti inilah peran orang tua di hadapan anak: menjadi tempat bertanya, berkeluh kesah, dan mengungkap perasaan. Misalnya saja si sulung bertanya mengapa tidak dibolehkan menonton film horor. Atau si bungsu yang tidak terima dilarang menonton tayangan anomali. Si tengah juga bersuara mengenai waktu mabar yang kubatasi. Di satu masa, aku meragukan keputusanku membuat larangan. Aku bertanya pada diriku, apakah sudah benar? Padahal aku memutuskannya setelah belajar dan melakukan observasi. Kadang aku khawatir, bagaimana bila anak-anakku melanggar diam-diam? Apa sebaiknya kulonggarkan saja? Namun aku paham apa yang baik dan tidak untuk mereka. Kadang aku takut mereka jadi kurang baha...

Pelajaran Besar Dari Pengalaman Kecil

Gambar
Bertahun lalu, saya sangat menginginkan satu paket buku ensiklopedia bernilai jutaan rupiah. Harganya terasa begitu besar, tidak hanya saat itu, bahkan hingga sekarang. Bayangan bisa membolak-balik halaman tebal, memajangnya di rak, dan kelak akan dibaca juga oleh anak-anak saya, rasanya seperti memiliki barang mewah yang sangat membanggakan.  Suatu hari saya iseng menulis status di Facebook, berandai-andai: "Kalau punya uang tiga juta, jika dipakai beli HP, paling kesenangannya bertahan beberapa tahun saja. Namun jika dipakai untuk membeli buku, bisa awet puluhan tahun hingga anak-cucu." Tak disangka, seorang kenalan berkomentar: "Aku lebih milih beli HP, sih. Dipakai jualan, bisa dapat untung lalu baru beli buku." Saya agak tercengang saat itu, melihat orang lain yang pandangannya begitu berbeda, dan menyuarakannya di “rumah” saya. Namun saya tidak membantah. Ia tidak salah. Ia seorang pedagang online, yang mungkin saat itu prioritasnya adalah menghasilkan rupiah....

Cerita Balon, Hak, dan Akhlak Anak

Gambar
Di tengah hangatnya isu korupsi dan tonedeaf  para pejabat negeri ini, tentu orangtua sepertiku merasa sedikit khawatir akan masa depan anak-anakku kelak. Bagaimana mereka akan hidup di sebuah negara yang moral pejabatnya hancur? Apakah mereka bisa mempertahankan nilai Islami dan adab yang baik di tengah gempuran ketidakjujuran dan nir-akhlak yang menjamur di kalangan bangsaku? Apakah mereka bisa menahan diri dari godaan duniawi yang menipu?  Aku ingin membagikan sebuah kebiasaan yang aku tanamkan pada anak-anakku, untuk melatih mereka sejak dini, sebagai ikhtiar membekali mereka dengan akhlak karimah. Salah satunya adalah menghargai hak saudara/i kandung. Kendati lahir dari rahim yang sama dan tumbuh dalam rumah dan didikan yang sama, bagiku tiap anak memiliki hak dan privasi yang menjadi milik mereka. Barang yang dimiliki satu anak, entah itu pemberian dariku ataupun dibeli dari hasil tabungannya sendiri, tidak lantas otomatis menjadi hak milik saudaranya. Tiap anak kutegask...

Antara Baik dan Benar

Gambar
 Jika ditanya apa yang paling aku inginkan saat ini, jawabanku sederhana, aku ingin menjadi orang yang baik. Tapi tidak berhenti di situ. Aku ingin menjadi baik dan benar. Aku suka punya relasi yang hangat. Aku bahagia jika orang-orang senang berada di dekatku. Rasanya terhormat saat bisa menjaga citra yang baik. Tapi aku juga tahu, aku tak suka jika wewenang atau prinsipku diinterupsi. Maka, jika harus memilih salah satu, alih-alih baik, aku memilih menjadi benar. Kata “baik” seperti memberi kesan menyenangkan, cocok di mata orang lain, tidak membuat masalah, tidak menyinggung. Tapi sering kali, untuk menjadi "baik", kita mengorbankan sedikit demi sedikit hal yang sebenarnya penting bagi kita demi menjaga perasaan orang lain. Sementara “benar” artinya berpegang pada prinsip. Punya nilai yang jelas. Teguh dalam keyakinan. Cerdas dalam bersikap, tapi tetap tenang saat harus kehilangan simpati. Tidak takut kehilangan teman. Tidak takut diomongkan. Tidak takut kehilangan apapun ...

Rumah Yang Sepi, Kepala Yang Ramai

Gambar
Akhir-akhir ini aku merasa sumpek. Rasanya rumah makin penuh, padahal tidak ada barang baru yang dibeli. Tapi setiap sudut terasa sesak. Lemari seperti tumpah, laci tak lagi bisa tertutup rapi, dan lantai makin sempit dijejali barang yang entah kapan terakhir kali dipakai. Aku coba duduk sejenak, memikirkan keadaan sekitar. Di rak pojok, ada sepatu lama yang sudah bertahun-tahun tidak disentuh. Bukan karena rusak, tapi karena sudah tidak cocok lagi digunakan. Di dalam kotak, buku pelajaran anak-anak dari tahun ajaran lalu masih tersimpan rapi. Tidak akan dibaca lagi, tapi rasanya sayang untuk dibuang. Di dapur, blender rusak masih ada di pojokan lemari, meskipun sudah punya yang baru. Dan itu belum seberapa. Ada mainan anak yang sudah hilang sebelah, baju yang tak pernah muat lagi, kabel-kabel tanpa fungsi, bahkan email-email lama yang tak pernah dibuka. Semua diam di tempatnya, tapi rasanya bising. Lama-lama aku sadar, mungkin bukan cuma rumah ini yang butuh dibereskan. Aku juga. Isi ...

Menulis Meski Sepi

Gambar
Impianku sejak dulu adalah menjadi seorang penulis. Seseorang yang tulisannya dibaca, dikenal, dijadikan inspirasi, berbagi wawasan, dan bisa mengubah pola pikir orang lain menjadi lebih baik. Aku bahkan berharap bisa menulis sebuah buku dan membagikan tanda tanganku pada para penggemar.  Namun kenyataannya, sampai sekarang aku hanyalah penulis sunyi. Blogger yang tidak dikenal orang. Tulisan-tulisanku belum mampu menarik banyak pembaca untuk kembali. Sepi, tanpa komentar dan umpan balik. Bahkan, ada beberapa artikel di blogku yang sama sekali tidak dibaca. Sedih? Jangan ditanya. Setiap penulis pasti berharap suaranya bisa menggema dan sampai ke banyak orang. Tapi suaraku seperti tenggelam di tengah debur ombak. Seperti bicara pada tembok—tak terdengar, apalagi mendapat jawaban. Aku sadar, mungkin tulisanku memang belum “menjual”. Curhatan sehari-hari dengan gayaku tidak selalu diminati. Bayangkan saja, harus membaca keluhan orang yang tidak kamu kenal dan hidupnya tak berkaitan de...

Mengapa Aku Tidak Menyetrika Hari Ini

Gambar
Hari ini, aku kembali tidak menyetrika. Rutinitas yang biasanya kulakukan sekali sepekan itu—lagi-lagi—kuabaikan. Bukan karena tumpukan baju itu tak tampak, bukan pula karena suami dan anak-anakku tidak membutuhkan seragam yang rapi. Pekan ini, aku hanya ingin memilih diriku sendiri. Kali ini, aku memilih untuk sedikit bersantai. Tidak melakukan pekerjaan yang tidak benar-benar harus kulakukan saat ini juga. Pakaian anak-anak dan suamiku di lemari masih banyak. Seragam mereka...? Mudah saja, kusetrika dadakan setengah jam sebelum mereka berangkat. Memilih tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga atau laundry berarti aku siap mengurus hampir semua pekerjaan di rumah—tentu saja, karena suamiku sudah cukup sibuk bekerja di luar. Namun kesiapan mental juga ada masa soak-nya, ibarat baterai yang kadang butuh diisi ulang. Semangatku seperti alat elektronik yang bisa ngebul juga kalau dipaksa terus-menerus. Aku merasa bahwa rasa malas itu manusiawi—bukan bermalas-malasan. Aku masih tetap m...