Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

Belajar Mandiri Bersama Anak-anak

Gambar
Anak-anakku bertanya, "Mah, kenapa kita nggak punya ART (Asisten Rumah Tangga)?" Bukan sekali atau dua kali pertanyaan ini diajukan padaku. Yang dulunya sempat kagok menjawab, sekarang aku lebih rileks mengungkapkan alasannya. Tidak menyalahkan rasa penasaran mereka, tetangga kami beberapa orang juga menggunakan jasa ART di rumahnya. Mungkin anak-anakku berpikir, andai di rumah ada ART, aku bisa lebih banyak bersantai dan lebih jarang mengucap kata "Mama capek" ketika menegur mereka. Atau "Mama banyak kerjaan" saat meminta mereka memaklumi kesibukanku.  Tanpa membandingkan atau memandang sebelah mata rumah orang lain, aku memilih untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian. Aku merasa setidaknya sampai saat ini belum membutuhkan ART, meski rumah tidak rapi-rapi amat, masakan juga tidak enak-enak amat, meski gunung setrikaan menghiasi pojok ruangan. Tidak ada yang lebih baik atau buruk, semua hanya tentang preferensi. Aku memiliki alasanku untuk tidak...

Jejak Cinta Yang Tersisa

Gambar
 Saat scrolling media sosial, aku melihat sebuah konten. Isinya tentang anak yang ibunya meninggal saat melahirkannya. Ada narasi yang kurang lebih begini bunyinya, "Andai Mama tidak melahirkanku, mungkin Mama masih hidup sampai saat ini". Aku mengalihkan pikiranku ke kolom komentar. Ternyata di luar sana ada banyak kisah yang sama sepertiku, ibu yang justru meninggalkan dunia tepat setelah melahirkan anaknya ke dunia. Aku, yang dilahirkan 34 tahun lalu. Sejenak rasanya seperti bercermin pada cerita orang lain. Banyak komentar yang memberikan penghiburan, "Mamamu kini di surga, semoga ia syahid", "Mamamu pasti bangga", "Kamu hebat telah melewati ini semua"... komentar itu membuatku turut merasa terkuatkan. Namun ada satu komentar yang membuatku tercekat. Membuat air mataku tak tertahankan, aku pun menangis tersedu begitu lama karenanya. "Jika ibumu bisa mengulang waktu dan diberi pilihan, pasti ia akan kembali memilih untuk melahirkanmu...

Menulis Adalah Pensieve Versiku

Gambar
Pensieve adalah benda fiktif dalam novel Harry Potter, berupa mangkuk batu perak tempat menyimpan ingatan. Para tokoh mengeluarkan benang putih dari kepala mereka, menyimpannya di sana, lalu mengamatinya kembali bila diperlukan. Sebagai generasi milenial -Potterhead- yang tumbuh bersama terbitnya novel ini di tahun 2000-an, aku sempat berkhayal betapa serunya memiliki Pensieve. Andai bisa meluangkan kepala yang penuh, tidak terbebani dengan banyak kenangan yang sebagian di antaranya tidak terlalu bagus. Seperti kejadian mengesalkan dengan teman, atau pikiran tak penting yang melelahkan… asal jangan hafalan Qur’an yang ikut hilang. Terkadang pikiran itu berjubel seperti lemari penuh berkas. Sebagian penting, sebagiannya ingin dihapus. Kadang pikiran itu menghantui bahkan saat rebah, bahkan menjelma dalam bentuk bunga tidur. To-do list yang tak kunjung selesai, pesan yang belum terbalas, atau kekhawatiran kecil yang kita simpan rapat-rapat. Banyak hal membuat senang, sedih, khawatir... r...

Yang Berubah Setelah Menikah

Gambar
Catatan: Aku menuliskan ini sebagai seorang wanita yang setelah menikah menjadi Ibu Rumah Tangga. Bila ada hal yang tidak sesuai atau tidak relate dengan teman-teman working moms , mohon maklum, ya. Aku baru saja mengunci pintu kamar mandi, ketika anak itu memanggilku dari baliknya. “Mamaaa... mamaa... aku mau pup ” Baru duduk akan menyuapkan makananku, anak itu datang lagi, memberondongku dengan lusinan pertanyaan. Mataku baru saja terpejam, tak sengaja tertidur setelah selesai memasak dan merapikan dapur, ketika suara kecil bertanya, “Ma, makan siang pakai apa?” Padahal panci panas berisi sup dan lauk masih mengepul di atas kompor. Anak siapa itu? Anakku. Semuanya cerita tentang anakku. Sejujurnya aku tak pernah menyangka akan ada begitu banyak perubahan setelah menikah. Selain tinggal bersama lelaki yang dulu bahkan tak kukenal dekat, aku masih terkejut dengan kehadiran anak kecil yang terlahir dari rahimku sendiri. Sesuatu yang sebelum menikah tak pernah kubayangkan seribet ini. J...

Larangan Adalah Cinta

Gambar
Hari itu, anakku bertanya dengan serius, “Si Fulan dibolehkan sama orangtuanya, kenapa aku enggak, Mah?” Pertanyaan klasik yang keluar dari mulut hampir semua anakku. Tiga pribadi, tiga pertanyaan, namun inti jawabannya selalu sama.  Lagi-lagi aku harus kembali mengulang penjelasan. Tidak masalah, memang seperti inilah peran orang tua di hadapan anak: menjadi tempat bertanya, berkeluh kesah, dan mengungkap perasaan. Misalnya saja si sulung bertanya mengapa tidak dibolehkan menonton film horor. Atau si bungsu yang tidak terima dilarang menonton tayangan anomali. Si tengah juga bersuara mengenai waktu mabar yang kubatasi. Di satu masa, aku meragukan keputusanku membuat larangan. Aku bertanya pada diriku, apakah sudah benar? Padahal aku memutuskannya setelah belajar dan melakukan observasi. Kadang aku khawatir, bagaimana bila anak-anakku melanggar diam-diam? Apa sebaiknya kulonggarkan saja? Namun aku paham apa yang baik dan tidak untuk mereka. Kadang aku takut mereka jadi kurang baha...

Pelajaran Besar Dari Pengalaman Kecil

Gambar
Bertahun lalu, saya sangat menginginkan satu paket buku ensiklopedia bernilai jutaan rupiah. Harganya terasa begitu besar, tidak hanya saat itu, bahkan hingga sekarang. Bayangan bisa membolak-balik halaman tebal, memajangnya di rak, dan kelak akan dibaca juga oleh anak-anak saya, rasanya seperti memiliki barang mewah yang sangat membanggakan.  Suatu hari saya iseng menulis status di Facebook, berandai-andai: "Kalau punya uang tiga juta, jika dipakai beli HP, paling kesenangannya bertahan beberapa tahun saja. Namun jika dipakai untuk membeli buku, bisa awet puluhan tahun hingga anak-cucu." Tak disangka, seorang kenalan berkomentar: "Aku lebih milih beli HP, sih. Dipakai jualan, bisa dapat untung lalu baru beli buku." Saya agak tercengang saat itu, melihat orang lain yang pandangannya begitu berbeda, dan menyuarakannya di “rumah” saya. Namun saya tidak membantah. Ia tidak salah. Ia seorang pedagang online, yang mungkin saat itu prioritasnya adalah menghasilkan rupiah....

Cerita Balon, Hak, dan Akhlak Anak

Gambar
Di tengah hangatnya isu korupsi dan tonedeaf  para pejabat negeri ini, tentu orangtua sepertiku merasa sedikit khawatir akan masa depan anak-anakku kelak. Bagaimana mereka akan hidup di sebuah negara yang moral pejabatnya hancur? Apakah mereka bisa mempertahankan nilai Islami dan adab yang baik di tengah gempuran ketidakjujuran dan nir-akhlak yang menjamur di kalangan bangsaku? Apakah mereka bisa menahan diri dari godaan duniawi yang menipu?  Aku ingin membagikan sebuah kebiasaan yang aku tanamkan pada anak-anakku, untuk melatih mereka sejak dini, sebagai ikhtiar membekali mereka dengan akhlak karimah. Salah satunya adalah menghargai hak saudara/i kandung. Kendati lahir dari rahim yang sama dan tumbuh dalam rumah dan didikan yang sama, bagiku tiap anak memiliki hak dan privasi yang menjadi milik mereka. Barang yang dimiliki satu anak, entah itu pemberian dariku ataupun dibeli dari hasil tabungannya sendiri, tidak lantas otomatis menjadi hak milik saudaranya. Tiap anak kutegask...

Antara Baik dan Benar

Gambar
 Jika ditanya apa yang paling aku inginkan saat ini, jawabanku sederhana, aku ingin menjadi orang yang baik. Tapi tidak berhenti di situ. Aku ingin menjadi baik dan benar. Aku suka punya relasi yang hangat. Aku bahagia jika orang-orang senang berada di dekatku. Rasanya terhormat saat bisa menjaga citra yang baik. Tapi aku juga tahu, aku tak suka jika wewenang atau prinsipku diinterupsi. Maka, jika harus memilih salah satu, alih-alih baik, aku memilih menjadi benar. Kata “baik” seperti memberi kesan menyenangkan, cocok di mata orang lain, tidak membuat masalah, tidak menyinggung. Tapi sering kali, untuk menjadi "baik", kita mengorbankan sedikit demi sedikit hal yang sebenarnya penting bagi kita demi menjaga perasaan orang lain. Sementara “benar” artinya berpegang pada prinsip. Punya nilai yang jelas. Teguh dalam keyakinan. Cerdas dalam bersikap, tapi tetap tenang saat harus kehilangan simpati. Tidak takut kehilangan teman. Tidak takut diomongkan. Tidak takut kehilangan apapun ...

Rumah Yang Sepi, Kepala Yang Ramai

Gambar
Akhir-akhir ini aku merasa sumpek. Rasanya rumah makin penuh, padahal tidak ada barang baru yang dibeli. Tapi setiap sudut terasa sesak. Lemari seperti tumpah, laci tak lagi bisa tertutup rapi, dan lantai makin sempit dijejali barang yang entah kapan terakhir kali dipakai. Aku coba duduk sejenak, memikirkan keadaan sekitar. Di rak pojok, ada sepatu lama yang sudah bertahun-tahun tidak disentuh. Bukan karena rusak, tapi karena sudah tidak cocok lagi digunakan. Di dalam kotak, buku pelajaran anak-anak dari tahun ajaran lalu masih tersimpan rapi. Tidak akan dibaca lagi, tapi rasanya sayang untuk dibuang. Di dapur, blender rusak masih ada di pojokan lemari, meskipun sudah punya yang baru. Dan itu belum seberapa. Ada mainan anak yang sudah hilang sebelah, baju yang tak pernah muat lagi, kabel-kabel tanpa fungsi, bahkan email-email lama yang tak pernah dibuka. Semua diam di tempatnya, tapi rasanya bising. Lama-lama aku sadar, mungkin bukan cuma rumah ini yang butuh dibereskan. Aku juga. Isi ...

Menulis Meski Sepi

Gambar
Impianku sejak dulu adalah menjadi seorang penulis. Seseorang yang tulisannya dibaca, dikenal, dijadikan inspirasi, berbagi wawasan, dan bisa mengubah pola pikir orang lain menjadi lebih baik. Aku bahkan berharap bisa menulis sebuah buku dan membagikan tanda tanganku pada para penggemar.  Namun kenyataannya, sampai sekarang aku hanyalah penulis sunyi. Blogger yang tidak dikenal orang. Tulisan-tulisanku belum mampu menarik banyak pembaca untuk kembali. Sepi, tanpa komentar dan umpan balik. Bahkan, ada beberapa artikel di blogku yang sama sekali tidak dibaca. Sedih? Jangan ditanya. Setiap penulis pasti berharap suaranya bisa menggema dan sampai ke banyak orang. Tapi suaraku seperti tenggelam di tengah debur ombak. Seperti bicara pada tembok—tak terdengar, apalagi mendapat jawaban. Aku sadar, mungkin tulisanku memang belum “menjual”. Curhatan sehari-hari dengan gayaku tidak selalu diminati. Bayangkan saja, harus membaca keluhan orang yang tidak kamu kenal dan hidupnya tak berkaitan de...

Mengapa Aku Tidak Menyetrika Hari Ini

Gambar
Hari ini, aku kembali tidak menyetrika. Rutinitas yang biasanya kulakukan sekali sepekan itu—lagi-lagi—kuabaikan. Bukan karena tumpukan baju itu tak tampak, bukan pula karena suami dan anak-anakku tidak membutuhkan seragam yang rapi. Pekan ini, aku hanya ingin memilih diriku sendiri. Kali ini, aku memilih untuk sedikit bersantai. Tidak melakukan pekerjaan yang tidak benar-benar harus kulakukan saat ini juga. Pakaian anak-anak dan suamiku di lemari masih banyak. Seragam mereka...? Mudah saja, kusetrika dadakan setengah jam sebelum mereka berangkat. Memilih tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga atau laundry berarti aku siap mengurus hampir semua pekerjaan di rumah—tentu saja, karena suamiku sudah cukup sibuk bekerja di luar. Namun kesiapan mental juga ada masa soak-nya, ibarat baterai yang kadang butuh diisi ulang. Semangatku seperti alat elektronik yang bisa ngebul juga kalau dipaksa terus-menerus. Aku merasa bahwa rasa malas itu manusiawi—bukan bermalas-malasan. Aku masih tetap m...

10 Pelajaran Akhlak dari Al-Qur'an

Gambar
Al-Fatihah + Adh-Dhuha-An-Naas Akhlak Pertama: Meminta hidayah dan pertolongan hanya kepada Allah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:  اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ  “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”  (QS. Al-Fātiḥah [1]: 5) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ  “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”  (QS. Al-Fātiḥah [1]: 6) Penjelasan: Memohon pertolongan adalah bagian dari ibadah. Makna ibadah adalah: "Ismun jāmi‘ li kulli mā yuḥibbuhullāhu wa yardhāh" (Nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridai Allah). Hidayah yang diminta adalah segala bentuk petunjuk yang menjauhkan dari kesesatan. Doa ini sangat penting hingga diwajibkan dalam setiap salat. Hidayah ada dua: Petunjuk menuju kebenaran (masuk Islam). Petunjuk untuk tetap berada di atas kebenaran (mengamalkan syariat Islam). Akhlak Kedua: Tidak menolak orang yang meminta (baik harta maupun ilmu) Allah Subhanahu wa Ta'ala berf...

Hari Ini Aku Sedang Tidak Ingin Menulis

Gambar
Hari ini aku sedang tidak ingin menulis… Padahal banyak hal yang ingin kuceritakan hari ini. Ada kejadian lucu yang mengundang tawa. Ada hal menyebalkan yang membuat mood -ku memburuk. Ada hal menyenangkan yang ingin kutuangkan dalam kata. Namun, kembali lagi, aku sedang tidak ingin menulis apa pun. Artinya, aku sedang tidak ingin membagikan apa pun dalam tulisanku hari ini. Yang kutulis di sini hanyalah kata-kata kosong, yang mungkin membosankan dan akan membuatmu melewatkannya tanpa perlu menebak apa yang akan kutulis di belakang. Padahal ini baru hari keempat aku memutuskan untuk menulis setiap hari selama empat bulan! Baru 3% dari 123 hari yang kutentukan sebagai target. Lucu, bukan? Di satu sisi aku benci pada inkonsistensi. Tapi di sisi lain, sepertinya aku tidak se- perfectsionis itu. Pernah tidak, saat kamu berbicara di depan beberapa orang, yang awalnya kamu sangat excited untuk bercerita, mendadak di tengah jalan kamu bosan dan ingin berhenti? Jika bukan karena orang-o...

Suara Kecil yang Sering Terlupakan

Gambar
  Di antara kesibukan memvalidasi perasaan sensitif putri remajaku dan meladeni putra bungsu yang selalu menempel tiada henti, ada suara kecil yang kerap tak terdengar—atau mungkin kuabaikan: anak tengahku. Sifatnya cenderung keras, suka mendebat, banyak menawar aturan, dan sering manja layaknya balita. Sederhananya, ia masih terlalu kecil untuk dikatakan mandiri, namun postur tubuhnya yang tinggi membuatnya terlihat terlalu besar untuk selalu dilayani. Dilema seorang anak tengah—sebagaimana banyak orang tahu dan banyak dialami—ibarat hidup dalam bayang-bayang. Dituntut untuk menuruti Sang Kakak yang lebih senior, sekaligus harus mengalah pada Sang Adik yang masih kecil. Ia harus membagi sikap: sopan pada yang tua, mengasihi yang muda. Padahal, di usianya, itu jelas tidak mudah. Dalam keramaian rumah setiap hari, aku sering merasa seperti wasit di antara anak-anakku. Menjadi tempat mengadu saat mereka saling berargumen, bahkan saling memukul. Si Tengah nyaris selalu menjadi finalis...

Mendengar Isi Hati Orang Dalam Sehari

Gambar
Sebagai seorang melankolis yang mengedepankan perasaan, aku sering membayangkan perasaan orang lain setelah berbincang dan bertemu denganku. Apakah ia merasa senang, tidak nyaman, ataukah pertemuan denganku seperti angin lewat yang tak berkesan?  Membayangkan dapat mendengar suara hati orang lain selama sehari, rasanya cukup menarik bagiku.  Aku akan tahu apakah anak gadisku membantah dalam hatinya, sementara mulutnya diam demi mencegah perdebatan antara kami makin panjang. Aku akan tahu rasa sedih anak lelakiku saat aku berkata padanya untuk tidak banyak menawar aturan yang kubuat, atau ketika aku menghukumnya dengan mengurangi waktu screen-time-nya.  Aku akan bisa memahami kecewa putra bungsuku saat aku melarangnya memakan donat ketiganya hari ini. Aku tahu ia tak akan paham bahwa aku melarangnya untuk membatasi asupan gula.  Aku mungkin bisa lebih banyak memaklumi sikap cuek suamiku sesekali, saat mengetahui berapa banyak beban pikiran yang tidak bisa ia ceritakan...

Saat Suami dan Anak-anak Menjadi Pendengarku Satu-satunya

Gambar
Rasanya, seingatku, dulu aku bisa duduk mengobrol berjam-jam—beramai-ramai di teras asrama pesantren atau balkon kosan. Bahkan dengan posisi berbaring menjelang tidur, saat kantuk tak kunjung datang, obrolan tetap mengalir. Sekarang, pendengar setia obrolan harianku hanya empat orang terdekat: suami dan anak-anakku. Dekat secara emosional, dan juga secara jarak. Suamiku, dengan segala kesibukannya di luar rumah sejak pagi hingga petang, tetap menjadi telinga utama yang kurecoki dengan berbagai cerita. Tentang anak-anak, cerita acak dari media sosial, keresahanku dalam sehari, bahkan komentar netizen di reels random yang mengundang gelak tawa. Ia mendengarkan ucapanku yang sering kali dihiasi printilan emosi yang datang dan pergi. Meski mungkin tak banyak yang ia ingat, entah bagaimana hati terasa tenang. Ia seperti kotak tempat semua cerita disimpan, sahabat setia yang menampung segala rahasia sejak aku kecil, tumbuh dewasa, hingga kini menjadi ibu beranak tiga. Kesibukan rumah ta...